Popular posts

Anggaisme

Anggaisme adalah sebuah ide pemikiran akan suatu hal sehari-hari menurut pandangan saya yang amat sangat subyektif.Ruang kosong itu menjadi bentukan ekspresi saya ,bentukan itu saya dedikasikan untuk ruang pribadi,untuk mereka yang tertulis didalamnya dan obyek yang terpilih.Jadilah subyektif dan temukan dirimu.

Mengenai Saya

Aku terlahir dengan nama Angga Guidanto Hidayatulah.Masih mencari proses menemukan diriku yang sebenarnya dan sangat menginginkan tantangan kehidupan... Akulah pria yang menantang gunung-gunung tantangan.. Yang siap jatuh dalam jurang kegagalan.. Aku ingin merasakan HIDUP !!!!

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Archive for 2013

Jakarta sore itu

Senin, 16 Desember 2013
Posted by Catatanku

Dan akhirnya kita pun sampai pada suatu tempat. Entah disengaja ataupun dirancang dengan begitu baik atau sebaliknya… terdampar pada tempat tersebut. Semuanya akan bermuara di kota ini, tempat dimana banyak orang menggantungkan harapannya tinggi-tinggi ataupun mengucilkan diri menghilang di pusat hingar bingar. Jakarta.

Kota ini tidak selamanya keras, tidak juga sepenuhnya mudah ditaklukan. Jakarta seperti misteri, diantara tikungan-tikungan gang sempit dan penuh nestapa ternyata terdapat harapn-harapan untuk menatap hidup yang lebih baik. Di pusat-pusat kota pencakar langit terselip kesedihan yang menyelinap di sela-sela gedung angkuh itu. Ada kesyahduan dan sujud syukur diantara para pemulung, kuli bangunan, tukang tambal ban, penjual nasi uduk, penjual kopi ataupun sedih nestapa para kaum yang menamakan dirinya eksekutif. Semuanya takkan terlihat seperti mata telanjangmu memandang.

 Jakarta pun angkuh, layaknya karang. Dilibasnya waktu dengan digdaya. Diperasnya tiap-tiap tetes terakhir keringat tanpa mempedulikan asset terbesar di jagat raya : waktu. Detik demi detik berlalu, asap terus mengepul tebal dari corong-corong knalpot, cahaya LED masih berpendar di puncak-puncak pencakar langit tengah malam, roda-roda terus berputar mengantarkan segala urusan yang berjalan di tanah Jakarta, kurs dan nilai perdagangan ramai gegap gempita melewati batas waktu dan kemanusiaan. Adakah dirimu sejenak terlelap , duhai Jakarta ?

Ada kalanya Jakarta seperti embun di kala jarum pendek menunjuk angka empat dan jarum panjang di angka dua belas. Dingin dan mencekam sombong. Seolah setiap manusia terlahir menggenggam takdir masing-masing yang sudah berbeda. Digenggam eratnya kesuksesan sebagai prestasi pribadi dan pembeda terhadap mereka yang pemalas. Seakan semuanya sudah tergaris tegas ditangannya. Semuanya terjadi berkat usaha kerasnya. Sehingga mereka berjalan angkuh dan dasi seakan mencekik nurani mereka hingga tercerabut tak bersisa.

Jakarta pun semarak, seperti jalanan kampung di kala tujuh belas Agustus. Takkan pernah ada orang-orang perlente tanpa malu-malu makan di warteg menyapanya dengan bahasa Jawa, si empunya menjawab dengan bahasa Banyumasan, di sekitarnya orang Batak sibuk bersitegang dengan koleganya, orang Sunda santun berbicara dengan ketawa-ketawa kecil, orang Melayu tak lupa berbincang seolah ada naik turun nada di tiap bicaranya. Semuanya akur, berjalan pada tiap dialektika yang nyaman di lidah empunya lidah. Namun saling semarak, seperti bendera-bendera yang berjejal warna warni di jalanan kampung waktu tujuh belas agustus. Sungguh seperti itu rupanya.

Jakarta pun kadang bersolek alim atau terlihat humanis. Satu per satu koin terlempar dari roda empat ke kaleng sang anak jalanan ataupun kakek nenek, seolah-olah rasa iba berjarak sepelemparan koin. Rasa bangga membumbung seoalah menjadi konglomerat yang peduli pada kaum papa. Keramaian maghrib seakan takkan berhenti sebelum matahari bergantian tenggelam digantikan bulan. Dari setiap lorong dan segala bentuk sepetak tanah yang dijadikan ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga bersebelahan dengan kamar mandi mini dan tak lupa tempat solat. Bersahut-sahutan adzan dari segala penjuru corong-corong usang minaret masjid atau bambu penahan toa. Menggema dia terkena tebing-tebing pencakar langit, mencoba menembus kaca dan tembok tebalnya, mencoba dan mencoba menggapai dzat yang harus diketemukan oleh suara adzan : kalbu. Mengingatkan bahwa di segala bentuk artifisial office look kalian semua, masih tersimpan bara kecil akan gempitanya berkejaran menyongsong maghrib di kala belia kalian.


Dan semuanya terpapar jelas pada sore itu. Ketika matahari mulai turun dari peraduan, dan Jakarta masih berdaya untuk selalu begadang. Jakarta bisa menjadi apapun yang kamu mau, dari sudut manapun kamu memandang Jakarta. Seperti sore ini,,ketika Jakarta sembab terguyur hujan di bulan Desember. 

Karangmangu sore itu

Rabu, 10 April 2013
Posted by Catatanku
Tetes demi tetes hujan satu per satu turun deras menghujam daratan itu. Derasnya membuat sekitar dedauan di sekitarnya kuyu dan kuyup. Dedauan secara pasrah menerima ratusan bulir air yang meluncur dari tempat nan jauh sana bernama langit. Angin perlahan menyapu lembut dedaunan dan kerimbunan pohon-pohon sekitarnya. Berpestalah mereka dalam keindahan tetesan hujan , bergoyang tubuh mereka mengikuti arah angin dan merasakan ketukan nada alam yang teramanahkan pada angin.

Tak lama setelah itu, mentari malu-malu muncul. Perkasa dia menembus sela-sela mendung yang masih menggantung. Senja itu masih tersisa keangkuhan amarahan hujan, untuk kemudian tersapu satu per satu cahaya redup senja. Berbaur dalam keadaan yang teramat berbeda daratan tinggi itu masih canggung menerima perubahan drastis. Daratan bernama Karangmangu itu masih kuyup saat mentari senja menyambutnya. Semilir angin perlahan menyapu dedaunan bambu dan kemudian turun tetes-tetes sisa hujan. Di daratan itu, tepat di tanjakan jalan itu, dari kejauhan samar terlihat keajaiban warna, semuanya membaur mesra dalam sebuah fenomena yang manusia sebut pelangi. Karangmangu saat itu kuyup, malu tersapu sinar senja mentari dan sembunyi-sembunyi menampakan pelangi.

Saat itu aku masih berdiri diatas motorku, memandang kejauhan asramamu. Bangunan yang terdiam dalam kurungan kampus asri yang berjejer pohon-pohon tinggi menjulang. Aku seperti daratan bernama Karangmangu, canggung, bingung harus melakukan tindakan apa. Aku pencet keypad telponku dan kemudian dari seberang suaramu lembut berbisik “Oh udah nyampe, ya udah masuk ke asrama aja”. Lengkap sudah kekakuanku, aku merasa seperti bambu yang canggung dan kaku diterjang angin.

Kemudian aku tuntun motorku,untuksekedar menghilangkan kegugupanku dan seolah menghormati kekhidmatan yang tersaji dalam kampusmu. Tak lama ada panggilan yang memanggil namaku, ahh rupanya anak itu. Anisa masih sama seperti dulu,memanggilku dengan nyaring dan langsung mencerocos tak jelas tentang wanita yang akan dia kenalkan. “Mengko ga, nunggu nggaringna rambut kaeh bocaeh” jawabnya dari dalam kamar dengan cekikin banyak suara perempuan. Ahh Nisa masih banyak menyimpan energi SMAnya di awal perkuliahan rupanya.

Aku masih menyembunyikan kegugupanku, aku alihkan dengan melihat alam waktu itu. Asrama itu berada di tanjakan Karangmangu. Cukup tinggi untuk melihat suasana Purwokerto yang mulai terlihat lampu-lampu menyala. Senja mulai kalah oleh malam yang akan menjelang. Mentari mulai hilang ke peraduan dan gulita mulai menggeranyang tak tahu arah. Saat itu aku melihat lampu-lampu Purwokerto berkedip mengumpul dalam gugusan tak teratur. Lampu itu seperti memancar membentuk daratan yang luas dan membentuk komposisi yang menentang kegelapan malam. Seperti ratusan lilin menyala menyambut malam dan berkelap kelip terkena angin malam.

“Ngga” suara itu memanggilku, kemudian aku berbalik dan dia menjulurkan tangannya. “Acy”katanya untuk kemudian aku jabat tangannya. Rambutnya masih basah setelah mandi, ada garis tegas hitam rambutnya dan kulitnya. Aku seperti melihat kejadian tadi sore, saat daratan ini bermandikan air hujan. Ada kesegaran yang menyelimuti wajahnya,seolah bergembira seperti daratan yang sehabis diguyur hujan. Senyumnya tak canggung dan tak malu seperti pelangi di ujung senja tadi. Aku terdiam, aku merasakan semuanya berjalan dengan sangat indah, bahkan saat kelelawar mencicit keluar di malam hari aku pun mendengarnya seperti gesekan penuh makna dari maestro biola. Saat itu pula aku merasakan gemuruh yang tak tentu berdentum di hatiku. Rupanya aku semakin gugup.

“Eh iya,ngopi ya ga? Keujanan kan”sambut dia lagi saat aku masih mematung. “Eh iya”jawabku singkat. Maka saat itu kejadian yang aku ingat adalah gerimis kembali turun, perlahan dia menyapu dataran dengan tetesan hujan seperti sore tadi. Dan landscape Purwokerto masih menyala dibawah sana meski tersaput hujan yang mulai berkuasa kembali. Titik hujan kali ini yang aku denger seperti tuts piano yang dimainkan dengan ketukan yang pas dan simfoni yang mengalun dinamis, tak seperti sore tadi. Semilir angin pun aku rasakan seperti senandung merdu vokal manusia dalam alunan piano. Dan kopi yang dibuat malam itu seperti getar-getar drum yang meletup dalam detak jantungku dan menyambungkan semuanya dalam perbincangan antara dua insan manusia didalam rintik hujan dan titik-titik lampu kota Purwokerto.


Sejak saat itu aku mencintai hujan, kopi, dan tentu saja gadis pelangi penghujung senja yang sekarang aku sebut pacar. 

Pagi dan makaryo

Sabtu, 16 Februari 2013
Posted by Catatanku
Mentari digdaya memancarkan cahaya terang, mengalahkan aura dingin mencekam semalam. Menghilangkan tetes-tetes embun terakhir yang tersisa. Seolah-olah mentari mengajak semua insan yang dikangkanginya atas sebuah semangat. Panas mentari yang menggugah pagi ingin mengajarkan panasnya optimisme manusia jika ia membawa semangat itu sepanjang hidupnya. Usaha mentari agaknya cukup berhasil, berduyun-duyun para pedagang sayuran dan buah keluar dari lubuk-lubuk jauh rumah mereka. Bergegas mereka berdampingan dengan mentari, menyusuri jalanan aspal menanjak yang bersimpul mesra dengan hijau padi di kanan dan kiri mereka. Peluh mereka bercucuran setetes demi setetes sambil sesekali desahan nafas mereka berdesakan tak berirama teratur.

Di sudut kota itu, aku melihat jajaran semangat yang terpampang di depanku. Pedagang pasar, pedagang buah, pedagang jajanan, pedagang pakan ternak dan burung, bahkan para penarik becak. Semuanya syahdu ikut larut dalam semanagat sang mentari. Semuanya patuh dalam irama panas dan hilang sang mentari. Seolah-olah mereka mengajarkan sebuah cerita panjang bernama pekerjaan.

Makaryo. Sebutan singkat untuk mereka yang bekerja. Bukan hanya bekerja, namun didalamnya harus ada muatan moral dan tindakan yang bersumber atas hati nurani sehingga bisa disebut berkarya, tidak cuma bekerja. Nurani itulah yang disembulkan mentari pagi ini, dengan ikhlas dan syahdu, dia berbagi kehangatan dan tak berharap atas imbalan kembali.

Paparan mentari semoga juga menjalari teman-temanku yang berkarya disudut barat pulau Jawa -Jakarta. Semoga semangatnya mengajarkan atas sebuah keikhlasan dan keinginan untuk berkarya. Karya atas semua yang kalian inginkan. Negara, orangtua, kekasih dan sahabat. Mentari mengajarkan mereka khusyuk syahdu mencumbu karya masing-masing. Sehingga dengan nada yang riang dan gembira terucap " selamat pagi, selamat berkarya".


Sepenggal cerita Job Seeker

Senin, 04 Februari 2013
Posted by Catatanku

Jika diibaratkan dalam sebuah masa, job seeker adalah sandekala ataupun dini hari menjelang pagi. Di masa inilah dipertaruhkan semua harga diri baik berupa apa yang telah dipikul atas orang tua dan harga diri atas keberadaan diri dalam bentuk manusia intelektual. Kadang seperti sandekala karena pada masa ini adalah masa yang krusial, dimana ada perubahan kosmik antara sore menjadi malam, ada perputaran dimensi oleh terang masuk ke masa kegelapan. Perputaran kosmik saat mentari masuk ke peraduan dan digantikan teman sejatinya sang rembulan, masa dimana seyogyanya semua kegiatan diberhentikan dan sudah sepantasnya menyerahkan kepada alam agar syahdu memeluk perubahan tersebut.

Seperti juga terpampang pada hari itu. Mereka datang bergerombol dari universitas teduh dibawah kaki gunung Slamet, seperti juga saya. Tak hanya membawa selembar kertas transkip dan berlembar-lembar curiculum vitae. Terlebih mereka memikul harga diri orang tua dan memeluk erat mimpi-mimpi yang dibangun dari sekolah dasar.

Dadi wong ! Sebutan yang hiperbolis bagi orang Jawa, dimana eksistensi seorang manusia saat dia mampu hidup secara mandiri dalam hal finansial dan berdiri diatas kakinya sendiri. Frase tersebut juga menekankan bahwa seseorang akan memiliki harga diri dan sebuah kehormatan bila memiliki gawe atau pekerjaan. Sungguh sebuah parafrase yang menyudutkan mereka, bahwa sebelum mereka memeluk pekerjaan, maka eksistensi “wong” yang berjalan di bumi Allah ini dipertanyakan.

Dalam 5 lembar curiculum vitae tersebut mereka masukan data diri yang menarik. Ditonjolkannya sisi-sisi pribadi yang dianggap renyah dan kompeten di mata para penampung kerja. Di lembar itu terpajang berratus-ratus cerita yang dikompresi dalam kalimat-kalimat kecil. Kolom pendidikan formal yang terkompresi hanya menjadi 4 baris menceritakan bertahun-tahun perjuangan merintis jalan panjang dalam pendidikan. Didalamnya pelan-pelan terdengar rintihan, semangat dan cerita panjang atas baju-baju putih merah, putih biru, putih abu-abu dan wangi keformalan perkuliahan. Hanya 4 baris... berjuta cerita itu terpajang mungil di kertas putih.

Itu belum seberapa. Coba perlihatkan kolom penghargaan. Tak semua teman saya memilikinya, kalaupun ada paling banyak pasti hanya 4 atau 5 baris. Dalam baris-baris mungil itu terselubung perjuangan yang tak kalah heroiknya. Mungkin bermiliaran ikhtiar telah beradu kuat dengan riuh gaduh kompetisi. Semuanya terbayar lunas dan berhias rapi sekira paling banyak 5 baris, ataupun kalaupun sebenarnya tidak ada, namun beasiswa pun sebenarnya penghargaan bukan? Oke satu dua baris cukup.

Kolom-kolom lain juga banyak bercerita panjang yang terreduksi dalam baris mungil. Pengalaman organisasi tentu memiliki banyak pahit getir cerita didalamnya. Saat mereka masih muda dan menegakkan bentuk agama baru para mahasiswa –kekritisan- yang dibawa kemanapun dan menjadi identitasnya. Pengalaman ikut terjun ke dalam masyarakat dalam bentuk bakti sosial, pengalaman ikut hanyut dalam luapan kegembiraan malam keakraban, pengalaman sekedar ikut-ikut karena ingin dekat dengan gebetan, dan pengalaman bertarung di kampus lain demi harga diri dan eksistensi organisasi. Tentu semua pengalaman ini takkan bisa dihitung dengan bilangan biner yang ada dunia, belum lagi dengan trilyunan perasaan yang selalu mengikat di tiap momentumnya. Namun gambarannya jelas paling banyak hanya 3 baris !

Ketimpangan antara lembaran curiculum vitae dan semua kenyataan yang bercerita didalamnya, semakin terasa timpang saat para pencari eksistensi hidup ini melangkahkan kakinya ke jobfair. Segala bentuk kebanggaan dan jerih payah dalam bentuk indeks prestasi kumulatif dalam lingkungan fakultas bertemu dengan hutan rimba job fair. Didalamnya banyak manusia-manusia yang berikhtiar pula dengan banyak latar belakang kampus yang berbeda, dengan segudang pengalaman yang banyak pula dan penampilan yang dibuat semenarik mungkin. Sehingga kebanyakan yang membawa kebanggan dalam bentuk mahasiswa terbaik pun kadang terbalik keadaanya dalam peristiwa ini. Semangatnya menjadi kempis dan ciut. Tak seperti temanku, mereka tentu bermental jendral bintang lima, seorang panglima besar,,Jenderal Soedirman.

Dengan semangat yang membara didalam dada, mereka membawa lembaran-lembaran masa depan, ditawarkan pada para perusahaan yang diharapkan mau mengisi hari-hari kedepan. Lembaran itu saja tak cukup, harus ditunjang dengan penampilan yang prima. Maka tak usah ragu dan malu saat baju-baju putih dan setelan celana bahan hitam warisan ayahnya mereka pakai. Bentuk sebuah kecintaan dan kerelaan seorang ayah untuk menjadikan anaknya pria yang sebenarnya. Masih belum cukup juga bahkan parfum temannya mereka pakai, maka lengkaplah sudah metamorfosis para pencari kerja. Mereka berempat berangkat berbarengan dengan baju bagaikan pinguin dan wangi parfum yang sama !
       
        Grha Sabha Pramana yang megah, syahdu ditengah-tengah kungkungan atmosfer keilmuan, terpapar sayu oleh mentari pagi itu. Kesyahduan pagi itu dirusak oleh hiruk pikuk mengular para pencari kerja. Antrian mereka mengular mengelilingi Grha Sabha,mencengkram erat joglo megah tersebut. Dalam antrian itu, terselip temanku, bergerombol mereka asyik berbicara dalam bahasa ibunya. Orang-orang blakasuta ini tak sekalipun terselip malu untuk berbicara dengan bahasa tanah airnya –Banyumasan. Sungguh mentalitas jenderal bintang lima,sang panglima besar.

                Memasuki Grha Sabha mereka seperti menyingkap mesin waktu. Ditiap sudutnya menawarkan sebuah kelokan-kelokan kehidupan yang berbeda. Disetiap senyuman para petugas HRD tersingkap misteri atas apa yang akan mereka hadapai nantinya. Ditiap stand terbentang pilihan dan jenjang-jenjang mimpi yang diberhalakan bernama karier. Grha Sabha seperti gua dengan jalan keluar yang terjal , berkelok dan takkan pernah tahu kemana arah gua itu mengarah. Dan mereka sibuk didalamnya, menimang dengan baik-baik pilihan yang diambil sambil sesekali menggantungkan impian di tiap lorong masa depan mereka.
                Maka temanku, sebut saja inisialnya Fajar. Dengan bahasa tanah airnya menayakan sopan pada HRD di salah satu stand

“Mbak mau apply” (seharusnya dibahasakan dengan bahasa Inggris yang fasih), namun sungguh mentalitas seorang mahasiswa panglima besar tanpa ragu membahasakannya dengan bahasa Banyumasan.

“Iya mas, gimana?” jawab sang HRD dengan senyum simpul dan balutan setelan kantorannya.

“Ini mau appli (kembali dengan lidah Banyumasannya)” tambah temanku lagi

“Gimana ya mas?” tanya sang HRD lagi dengan kesabaran SOP yang dipegangnya teguh

“Appli mbak..Appli”(masih dengan dialek banyumas dengan tambahan volume dan intonasi yang semakin kental) cerocos temanku.

“Oooh aply (dibahasakan dengan bahasa Inggris baik dan benar sehingga seperti ngomong alay dengan tembahan huruf p ditengah antara a dan l) Jawab sang HRD karena telah menemukan simpul kebingungannya sambil menyinggungkan senyum manis khas kantoran.

Sore pun mulai menjelang. Saat rutinitas mulai surut, begitu pula hiruk pikuk di Grha Sabha saat itu. Semuanya telah usai dan babak selanjutnya adalah menanti dan terus menanti. Semoga ada seberkah kepastian menggantung di lembaran masa depan yang tertumpuk menggunung di stand kesukaan mereka.

Sore itu mereka pulang ke kontrakanku. Di perjalanan mereka ditemani sinar-sinar terakhir sang mentari, berwarna oranye yang hampir kalah oleh hitam pekat malam. Keduanya saling bersanding untuk kemudian sang oranye sirna dan menghilang. Berkumandang pula adzan-adzan di tiang masjid kota Yogyakarta dan dialek-dialek Jogja yang terdistorsi dalam lekukan adzan. Temanku pun pulang dengan sandekala mendekap erat tubuh dan jiwanya.

“If you can’t fly then run, if you can run then walk,if you can’t walk then crawl, but whatever you do you have to keep moving forward”
-marthin Luther King-

In the name of LOVE

Sabtu, 05 Januari 2013
Posted by Catatanku

Aku selalu terkagum-kagum dengan orang dibelakang layar. Ada semacam keindahan yang dipadu padankan dengan kecerdasan didalamnya. Aku pun terlahir dari rahim seorang kawulo wingking, Ibuku, darinyalah aku belajar tentang manajemen pertama kali. Tentang sebuah daya dan upaya untuk bisa membuat dapur tetap eksis dengan kepulan asapnya  dan masih bisa bernafas di hari esok, bahkan kalau pun ada uang sisa bisa dimasukan kedalam tabungan. Didalamnya juga terdapat banyak seni-seni untuk melakukan alternatif manajerial tersebut, tak jarang Ibuku sering memasak nasi yang tak habis malam hari menjadi nasi goreng, atau kalaupun tak ada daging kadang dia memasak kikil atau hanya sekedar ati rempela.  Setidaknya setiap orang punya alas an untuk menggilai orang belakang layar.

Bapakku kemudian mengenalkanku dengan pertunjukan wayang kulit. Saat itu aku masih belum genap 6 tahun, dan aku merasakan ada energi yang sangat kuat yang menggerakan ragaku untuk bangun di tengah malam dan memaksa mataku untuk tak terlelap. Maka malam hari saat bulan purnama menjelang, aku dan Bapak sudah bersiap-siap diatas sepeda Phoenixnya. Diikat kakiku agar tak hancur dirajam jari-jari roda sepeda. 

Saat bulan bertahta atas malam, kedua insan yang terendam dalam kegelapan, menyisir perlahan menuju arah suara gamelan. Aku hanya terdiam diatas sadel, yang aku ingat hanya purnama, suara gamelan beradu dengan gemerisik dan gegap gempita jangkrik sepanjang jalan yang kulalui dan sesekali nafas putus-putus bapakku.

Wayang kulit seakan semakin mengukuhkan kecintaanku atas orang dibalik layar. Didalam pagelaran yang megah dan bergelimang dalam cahaya terang benderang akan terasa kosong dan hambar jika sang dalang tak mampu membingkai cerita dengan baik. Memberikan nyawa dan  meniupkan suara-suara yang sesuai dengan karakter watak dan memberikan koordinasi dengan para nayaga untuk mapu memberikan efek dramatis sesuai dengan adegan. Semuanya dikontrol oleh satu orang. Yang menentukan jaya atau tidaknya sebuah pagelaran wayang. Dan semuanya bercampur baur antara koordinasi dan keindahan seni. Sungguh hebat para orang di balik layar.

Maka atas semua memori yang terhampar di masa lampauku. Aku terdampar di sini. Diantara kepungan gunung Merapi dan Merbabu, diantara ratusan ribu kepala bercap mahasiswa. Ya,,aku masih lekat dengan nama mahaiswa dan segala pernak pernik didalamnya. Saat mereka yang mendahuluiku lulus atau setelahku lulus sudah mulai berbincang asyik tentang gaji, bonus, karier, kesempatan. Aku pun menghela nafas menghilangkan kegalauanku bersama secangkir kopi dan segepok optimism. Aku berjuang atas apa yang aku cintai dan perjuangkan sedari aku kecil. Sebuah profesi yang diantaranya bermuara antara eksotisme keindahan seni dan kemampuan mencapai tujuan.

Cinta adalah gejolak passion paling kuat
Aku melakukannya atas cinta dan buah cintaku adalah hal bernama kepuasan. Efek samping dari cinta hanya pemuas perut dan dahaga agar aku tetap terus bisa mencintai.