- Home »
- Sepenggal cerita Job Seeker
Catatanku
On Senin, 04 Februari 2013
Jika
diibaratkan dalam sebuah masa, job seeker adalah sandekala ataupun dini hari
menjelang pagi. Di masa inilah dipertaruhkan semua harga diri baik berupa apa
yang telah dipikul atas orang tua dan harga diri atas keberadaan diri dalam
bentuk manusia intelektual. Kadang seperti sandekala karena pada masa ini
adalah masa yang krusial, dimana ada perubahan kosmik antara sore menjadi
malam, ada perputaran dimensi oleh terang masuk ke masa kegelapan. Perputaran
kosmik saat mentari masuk ke peraduan dan digantikan teman sejatinya sang
rembulan, masa dimana seyogyanya semua kegiatan diberhentikan dan sudah
sepantasnya menyerahkan kepada alam agar syahdu memeluk perubahan tersebut.
Seperti juga terpampang pada hari itu. Mereka datang bergerombol dari universitas teduh dibawah kaki gunung Slamet, seperti juga saya. Tak hanya membawa selembar kertas transkip dan berlembar-lembar curiculum vitae. Terlebih mereka memikul harga diri orang tua dan memeluk erat mimpi-mimpi yang dibangun dari sekolah dasar.
Dadi wong ! Sebutan yang hiperbolis bagi orang Jawa, dimana eksistensi seorang manusia saat dia mampu hidup secara mandiri dalam hal finansial dan berdiri diatas kakinya sendiri. Frase tersebut juga menekankan bahwa seseorang akan memiliki harga diri dan sebuah kehormatan bila memiliki gawe atau pekerjaan. Sungguh sebuah parafrase yang menyudutkan mereka, bahwa sebelum mereka memeluk pekerjaan, maka eksistensi “wong” yang berjalan di bumi Allah ini dipertanyakan.
Dalam 5 lembar curiculum vitae tersebut mereka masukan data diri yang menarik. Ditonjolkannya sisi-sisi pribadi yang dianggap renyah dan kompeten di mata para penampung kerja. Di lembar itu terpajang berratus-ratus cerita yang dikompresi dalam kalimat-kalimat kecil. Kolom pendidikan formal yang terkompresi hanya menjadi 4 baris menceritakan bertahun-tahun perjuangan merintis jalan panjang dalam pendidikan. Didalamnya pelan-pelan terdengar rintihan, semangat dan cerita panjang atas baju-baju putih merah, putih biru, putih abu-abu dan wangi keformalan perkuliahan. Hanya 4 baris... berjuta cerita itu terpajang mungil di kertas putih.
Itu belum seberapa. Coba perlihatkan kolom penghargaan. Tak semua teman saya memilikinya, kalaupun ada paling banyak pasti hanya 4 atau 5 baris. Dalam baris-baris mungil itu terselubung perjuangan yang tak kalah heroiknya. Mungkin bermiliaran ikhtiar telah beradu kuat dengan riuh gaduh kompetisi. Semuanya terbayar lunas dan berhias rapi sekira paling banyak 5 baris, ataupun kalaupun sebenarnya tidak ada, namun beasiswa pun sebenarnya penghargaan bukan? Oke satu dua baris cukup.
Kolom-kolom lain juga banyak bercerita panjang yang terreduksi dalam baris mungil. Pengalaman organisasi tentu memiliki banyak pahit getir cerita didalamnya. Saat mereka masih muda dan menegakkan bentuk agama baru para mahasiswa –kekritisan- yang dibawa kemanapun dan menjadi identitasnya. Pengalaman ikut terjun ke dalam masyarakat dalam bentuk bakti sosial, pengalaman ikut hanyut dalam luapan kegembiraan malam keakraban, pengalaman sekedar ikut-ikut karena ingin dekat dengan gebetan, dan pengalaman bertarung di kampus lain demi harga diri dan eksistensi organisasi. Tentu semua pengalaman ini takkan bisa dihitung dengan bilangan biner yang ada dunia, belum lagi dengan trilyunan perasaan yang selalu mengikat di tiap momentumnya. Namun gambarannya jelas paling banyak hanya 3 baris !
Ketimpangan antara lembaran curiculum vitae dan semua kenyataan yang bercerita didalamnya, semakin terasa timpang saat para pencari eksistensi hidup ini melangkahkan kakinya ke jobfair. Segala bentuk kebanggaan dan jerih payah dalam bentuk indeks prestasi kumulatif dalam lingkungan fakultas bertemu dengan hutan rimba job fair. Didalamnya banyak manusia-manusia yang berikhtiar pula dengan banyak latar belakang kampus yang berbeda, dengan segudang pengalaman yang banyak pula dan penampilan yang dibuat semenarik mungkin. Sehingga kebanyakan yang membawa kebanggan dalam bentuk mahasiswa terbaik pun kadang terbalik keadaanya dalam peristiwa ini. Semangatnya menjadi kempis dan ciut. Tak seperti temanku, mereka tentu bermental jendral bintang lima, seorang panglima besar,,Jenderal Soedirman.
Dengan semangat yang membara didalam dada, mereka membawa lembaran-lembaran masa depan, ditawarkan pada para perusahaan yang diharapkan mau mengisi hari-hari kedepan. Lembaran itu saja tak cukup, harus ditunjang dengan penampilan yang prima. Maka tak usah ragu dan malu saat baju-baju putih dan setelan celana bahan hitam warisan ayahnya mereka pakai. Bentuk sebuah kecintaan dan kerelaan seorang ayah untuk menjadikan anaknya pria yang sebenarnya. Masih belum cukup juga bahkan parfum temannya mereka pakai, maka lengkaplah sudah metamorfosis para pencari kerja. Mereka berempat berangkat berbarengan dengan baju bagaikan pinguin dan wangi parfum yang sama !
Grha Sabha Pramana yang megah, syahdu ditengah-tengah kungkungan atmosfer keilmuan, terpapar sayu oleh mentari pagi itu. Kesyahduan pagi itu dirusak oleh hiruk pikuk mengular para pencari kerja. Antrian mereka mengular mengelilingi Grha Sabha,mencengkram erat joglo megah tersebut. Dalam antrian itu, terselip temanku, bergerombol mereka asyik berbicara dalam bahasa ibunya. Orang-orang blakasuta ini tak sekalipun terselip malu untuk berbicara dengan bahasa tanah airnya –Banyumasan. Sungguh mentalitas jenderal bintang lima,sang panglima besar.
Memasuki Grha Sabha mereka seperti menyingkap mesin waktu. Ditiap sudutnya menawarkan sebuah kelokan-kelokan kehidupan yang berbeda. Disetiap senyuman para petugas HRD tersingkap misteri atas apa yang akan mereka hadapai nantinya. Ditiap stand terbentang pilihan dan jenjang-jenjang mimpi yang diberhalakan bernama karier. Grha Sabha seperti gua dengan jalan keluar yang terjal , berkelok dan takkan pernah tahu kemana arah gua itu mengarah. Dan mereka sibuk didalamnya, menimang dengan baik-baik pilihan yang diambil sambil sesekali menggantungkan impian di tiap lorong masa depan mereka.
Maka
temanku, sebut saja inisialnya Fajar. Dengan bahasa tanah airnya menayakan
sopan pada HRD di salah satu stand
“Mbak mau apply” (seharusnya
dibahasakan dengan bahasa Inggris yang fasih), namun sungguh mentalitas seorang
mahasiswa panglima besar tanpa ragu membahasakannya dengan bahasa Banyumasan.
“Iya mas, gimana?” jawab sang HRD
dengan senyum simpul dan balutan setelan kantorannya.
“Ini mau appli (kembali dengan
lidah Banyumasannya)” tambah temanku lagi
“Gimana ya mas?” tanya sang HRD
lagi dengan kesabaran SOP yang dipegangnya teguh
“Appli mbak..Appli”(masih dengan
dialek banyumas dengan tambahan volume dan intonasi yang semakin kental)
cerocos temanku.
“Oooh aply (dibahasakan dengan
bahasa Inggris baik dan benar sehingga seperti ngomong alay dengan tembahan
huruf p ditengah antara a dan l) Jawab sang HRD karena telah menemukan simpul kebingungannya
sambil menyinggungkan senyum manis khas kantoran.
Sore pun mulai menjelang. Saat
rutinitas mulai surut, begitu pula hiruk pikuk di Grha Sabha saat itu. Semuanya
telah usai dan babak selanjutnya adalah menanti dan terus menanti. Semoga ada
seberkah kepastian menggantung di lembaran masa depan yang tertumpuk menggunung
di stand kesukaan mereka.
Sore itu mereka pulang ke
kontrakanku. Di perjalanan mereka ditemani sinar-sinar terakhir sang mentari,
berwarna oranye yang hampir kalah oleh hitam pekat malam. Keduanya saling
bersanding untuk kemudian sang oranye sirna dan menghilang. Berkumandang pula
adzan-adzan di tiang masjid kota Yogyakarta dan dialek-dialek Jogja yang
terdistorsi dalam lekukan adzan. Temanku pun pulang dengan sandekala mendekap
erat tubuh dan jiwanya.
“If you can’t fly then run, if you can run then walk,if you can’t walk then crawl, but whatever you do you have to keep moving forward”
-marthin Luther King-