- Home »
- Karangmangu sore itu
Catatanku
On Rabu, 10 April 2013
Tetes demi tetes hujan satu per satu turun deras menghujam daratan itu. Derasnya membuat sekitar dedauan di sekitarnya kuyu dan kuyup. Dedauan secara pasrah menerima ratusan bulir air yang meluncur dari tempat nan jauh sana bernama langit. Angin perlahan menyapu lembut dedaunan dan kerimbunan pohon-pohon sekitarnya. Berpestalah mereka dalam keindahan tetesan hujan , bergoyang tubuh mereka mengikuti arah angin dan merasakan ketukan nada alam yang teramanahkan pada angin.
Tak lama setelah itu, mentari malu-malu muncul. Perkasa dia menembus sela-sela mendung yang masih menggantung. Senja itu masih tersisa keangkuhan amarahan hujan, untuk kemudian tersapu satu per satu cahaya redup senja. Berbaur dalam keadaan yang teramat berbeda daratan tinggi itu masih canggung menerima perubahan drastis. Daratan bernama Karangmangu itu masih kuyup saat mentari senja menyambutnya. Semilir angin perlahan menyapu dedaunan bambu dan kemudian turun tetes-tetes sisa hujan. Di daratan itu, tepat di tanjakan jalan itu, dari kejauhan samar terlihat keajaiban warna, semuanya membaur mesra dalam sebuah fenomena yang manusia sebut pelangi. Karangmangu saat itu kuyup, malu tersapu sinar senja mentari dan sembunyi-sembunyi menampakan pelangi.
Saat itu aku masih berdiri diatas motorku, memandang kejauhan asramamu. Bangunan yang terdiam dalam kurungan kampus asri yang berjejer pohon-pohon tinggi menjulang. Aku seperti daratan bernama Karangmangu, canggung, bingung harus melakukan tindakan apa. Aku pencet keypad telponku dan kemudian dari seberang suaramu lembut berbisik “Oh udah nyampe, ya udah masuk ke asrama aja”. Lengkap sudah kekakuanku, aku merasa seperti bambu yang canggung dan kaku diterjang angin.
Kemudian aku tuntun motorku,untuksekedar menghilangkan kegugupanku dan seolah menghormati kekhidmatan yang tersaji dalam kampusmu. Tak lama ada panggilan yang memanggil namaku, ahh rupanya anak itu. Anisa masih sama seperti dulu,memanggilku dengan nyaring dan langsung mencerocos tak jelas tentang wanita yang akan dia kenalkan. “Mengko ga, nunggu nggaringna rambut kaeh bocaeh” jawabnya dari dalam kamar dengan cekikin banyak suara perempuan. Ahh Nisa masih banyak menyimpan energi SMAnya di awal perkuliahan rupanya.
Aku masih menyembunyikan kegugupanku, aku alihkan dengan melihat alam waktu itu. Asrama itu berada di tanjakan Karangmangu. Cukup tinggi untuk melihat suasana Purwokerto yang mulai terlihat lampu-lampu menyala. Senja mulai kalah oleh malam yang akan menjelang. Mentari mulai hilang ke peraduan dan gulita mulai menggeranyang tak tahu arah. Saat itu aku melihat lampu-lampu Purwokerto berkedip mengumpul dalam gugusan tak teratur. Lampu itu seperti memancar membentuk daratan yang luas dan membentuk komposisi yang menentang kegelapan malam. Seperti ratusan lilin menyala menyambut malam dan berkelap kelip terkena angin malam.
“Ngga” suara itu memanggilku, kemudian aku berbalik dan dia menjulurkan tangannya. “Acy”katanya untuk kemudian aku jabat tangannya. Rambutnya masih basah setelah mandi, ada garis tegas hitam rambutnya dan kulitnya. Aku seperti melihat kejadian tadi sore, saat daratan ini bermandikan air hujan. Ada kesegaran yang menyelimuti wajahnya,seolah bergembira seperti daratan yang sehabis diguyur hujan. Senyumnya tak canggung dan tak malu seperti pelangi di ujung senja tadi. Aku terdiam, aku merasakan semuanya berjalan dengan sangat indah, bahkan saat kelelawar mencicit keluar di malam hari aku pun mendengarnya seperti gesekan penuh makna dari maestro biola. Saat itu pula aku merasakan gemuruh yang tak tentu berdentum di hatiku. Rupanya aku semakin gugup.
“Eh iya,ngopi ya ga? Keujanan kan”sambut dia lagi saat aku masih mematung. “Eh iya”jawabku singkat. Maka saat itu kejadian yang aku ingat adalah gerimis kembali turun, perlahan dia menyapu dataran dengan tetesan hujan seperti sore tadi. Dan landscape Purwokerto masih menyala dibawah sana meski tersaput hujan yang mulai berkuasa kembali. Titik hujan kali ini yang aku denger seperti tuts piano yang dimainkan dengan ketukan yang pas dan simfoni yang mengalun dinamis, tak seperti sore tadi. Semilir angin pun aku rasakan seperti senandung merdu vokal manusia dalam alunan piano. Dan kopi yang dibuat malam itu seperti getar-getar drum yang meletup dalam detak jantungku dan menyambungkan semuanya dalam perbincangan antara dua insan manusia didalam rintik hujan dan titik-titik lampu kota Purwokerto.
Sejak saat itu aku mencintai hujan, kopi, dan tentu saja gadis pelangi penghujung senja yang sekarang aku sebut pacar.