- Home »
- Jakarta sore itu
Catatanku
On Senin, 16 Desember 2013
![]() |
Dan akhirnya kita pun sampai pada suatu tempat. Entah
disengaja ataupun dirancang dengan begitu baik atau sebaliknya… terdampar pada
tempat tersebut. Semuanya akan bermuara di kota ini, tempat dimana banyak orang
menggantungkan harapannya tinggi-tinggi ataupun mengucilkan diri menghilang di
pusat hingar bingar. Jakarta.
Kota ini tidak selamanya keras, tidak juga sepenuhnya mudah
ditaklukan. Jakarta seperti misteri, diantara tikungan-tikungan gang sempit dan
penuh nestapa ternyata terdapat harapn-harapan untuk menatap hidup yang lebih
baik. Di pusat-pusat kota pencakar langit terselip kesedihan yang menyelinap di
sela-sela gedung angkuh itu. Ada kesyahduan dan sujud syukur diantara para
pemulung, kuli bangunan, tukang tambal ban, penjual nasi uduk, penjual kopi
ataupun sedih nestapa para kaum yang menamakan dirinya eksekutif. Semuanya
takkan terlihat seperti mata telanjangmu memandang.
Jakarta pun angkuh,
layaknya karang. Dilibasnya waktu dengan digdaya. Diperasnya tiap-tiap tetes
terakhir keringat tanpa mempedulikan asset terbesar di jagat raya : waktu.
Detik demi detik berlalu, asap terus mengepul tebal dari corong-corong knalpot,
cahaya LED masih berpendar di puncak-puncak pencakar langit tengah malam,
roda-roda terus berputar mengantarkan segala urusan yang berjalan di tanah
Jakarta, kurs dan nilai perdagangan ramai gegap gempita melewati batas waktu
dan kemanusiaan. Adakah dirimu sejenak terlelap , duhai Jakarta ?
Ada kalanya Jakarta seperti embun di kala jarum pendek
menunjuk angka empat dan jarum panjang di angka dua belas. Dingin dan mencekam sombong.
Seolah setiap manusia terlahir menggenggam takdir masing-masing yang sudah
berbeda. Digenggam eratnya kesuksesan sebagai prestasi pribadi dan pembeda
terhadap mereka yang pemalas. Seakan semuanya sudah tergaris tegas ditangannya.
Semuanya terjadi berkat usaha kerasnya. Sehingga mereka berjalan angkuh dan
dasi seakan mencekik nurani mereka hingga tercerabut tak bersisa.
Jakarta pun semarak, seperti jalanan kampung di kala tujuh
belas Agustus. Takkan pernah ada orang-orang perlente tanpa malu-malu makan di
warteg menyapanya dengan bahasa Jawa, si empunya menjawab dengan bahasa
Banyumasan, di sekitarnya orang Batak sibuk bersitegang dengan koleganya, orang
Sunda santun berbicara dengan ketawa-ketawa kecil, orang Melayu tak lupa
berbincang seolah ada naik turun nada di tiap bicaranya. Semuanya akur,
berjalan pada tiap dialektika yang nyaman di lidah empunya lidah. Namun saling
semarak, seperti bendera-bendera yang berjejal warna warni di jalanan kampung
waktu tujuh belas agustus. Sungguh seperti itu rupanya.
Jakarta pun kadang bersolek alim atau terlihat humanis. Satu
per satu koin terlempar dari roda empat ke kaleng sang anak jalanan ataupun
kakek nenek, seolah-olah rasa iba berjarak sepelemparan koin. Rasa bangga
membumbung seoalah menjadi konglomerat yang peduli pada kaum papa. Keramaian
maghrib seakan takkan berhenti sebelum matahari bergantian tenggelam digantikan
bulan. Dari setiap lorong dan segala bentuk sepetak tanah yang dijadikan ruang
tamu, ruang makan, ruang keluarga bersebelahan dengan kamar mandi mini dan tak
lupa tempat solat. Bersahut-sahutan adzan dari segala penjuru corong-corong usang
minaret masjid atau bambu penahan toa. Menggema dia terkena tebing-tebing
pencakar langit, mencoba menembus kaca dan tembok tebalnya, mencoba dan mencoba
menggapai dzat yang harus diketemukan oleh suara adzan : kalbu. Mengingatkan
bahwa di segala bentuk artifisial office look kalian semua, masih tersimpan
bara kecil akan gempitanya berkejaran menyongsong maghrib di kala belia kalian.
Dan semuanya terpapar jelas pada sore itu. Ketika matahari
mulai turun dari peraduan, dan Jakarta masih berdaya untuk selalu begadang.
Jakarta bisa menjadi apapun yang kamu mau, dari sudut manapun kamu memandang
Jakarta. Seperti sore ini,,ketika Jakarta sembab terguyur hujan di bulan
Desember.