Popular posts

Anggaisme

Anggaisme adalah sebuah ide pemikiran akan suatu hal sehari-hari menurut pandangan saya yang amat sangat subyektif.Ruang kosong itu menjadi bentukan ekspresi saya ,bentukan itu saya dedikasikan untuk ruang pribadi,untuk mereka yang tertulis didalamnya dan obyek yang terpilih.Jadilah subyektif dan temukan dirimu.

Mengenai Saya

Aku terlahir dengan nama Angga Guidanto Hidayatulah.Masih mencari proses menemukan diriku yang sebenarnya dan sangat menginginkan tantangan kehidupan... Akulah pria yang menantang gunung-gunung tantangan.. Yang siap jatuh dalam jurang kegagalan.. Aku ingin merasakan HIDUP !!!!

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Catatanku On Senin, 16 Desember 2013


Dan akhirnya kita pun sampai pada suatu tempat. Entah disengaja ataupun dirancang dengan begitu baik atau sebaliknya… terdampar pada tempat tersebut. Semuanya akan bermuara di kota ini, tempat dimana banyak orang menggantungkan harapannya tinggi-tinggi ataupun mengucilkan diri menghilang di pusat hingar bingar. Jakarta.

Kota ini tidak selamanya keras, tidak juga sepenuhnya mudah ditaklukan. Jakarta seperti misteri, diantara tikungan-tikungan gang sempit dan penuh nestapa ternyata terdapat harapn-harapan untuk menatap hidup yang lebih baik. Di pusat-pusat kota pencakar langit terselip kesedihan yang menyelinap di sela-sela gedung angkuh itu. Ada kesyahduan dan sujud syukur diantara para pemulung, kuli bangunan, tukang tambal ban, penjual nasi uduk, penjual kopi ataupun sedih nestapa para kaum yang menamakan dirinya eksekutif. Semuanya takkan terlihat seperti mata telanjangmu memandang.

 Jakarta pun angkuh, layaknya karang. Dilibasnya waktu dengan digdaya. Diperasnya tiap-tiap tetes terakhir keringat tanpa mempedulikan asset terbesar di jagat raya : waktu. Detik demi detik berlalu, asap terus mengepul tebal dari corong-corong knalpot, cahaya LED masih berpendar di puncak-puncak pencakar langit tengah malam, roda-roda terus berputar mengantarkan segala urusan yang berjalan di tanah Jakarta, kurs dan nilai perdagangan ramai gegap gempita melewati batas waktu dan kemanusiaan. Adakah dirimu sejenak terlelap , duhai Jakarta ?

Ada kalanya Jakarta seperti embun di kala jarum pendek menunjuk angka empat dan jarum panjang di angka dua belas. Dingin dan mencekam sombong. Seolah setiap manusia terlahir menggenggam takdir masing-masing yang sudah berbeda. Digenggam eratnya kesuksesan sebagai prestasi pribadi dan pembeda terhadap mereka yang pemalas. Seakan semuanya sudah tergaris tegas ditangannya. Semuanya terjadi berkat usaha kerasnya. Sehingga mereka berjalan angkuh dan dasi seakan mencekik nurani mereka hingga tercerabut tak bersisa.

Jakarta pun semarak, seperti jalanan kampung di kala tujuh belas Agustus. Takkan pernah ada orang-orang perlente tanpa malu-malu makan di warteg menyapanya dengan bahasa Jawa, si empunya menjawab dengan bahasa Banyumasan, di sekitarnya orang Batak sibuk bersitegang dengan koleganya, orang Sunda santun berbicara dengan ketawa-ketawa kecil, orang Melayu tak lupa berbincang seolah ada naik turun nada di tiap bicaranya. Semuanya akur, berjalan pada tiap dialektika yang nyaman di lidah empunya lidah. Namun saling semarak, seperti bendera-bendera yang berjejal warna warni di jalanan kampung waktu tujuh belas agustus. Sungguh seperti itu rupanya.

Jakarta pun kadang bersolek alim atau terlihat humanis. Satu per satu koin terlempar dari roda empat ke kaleng sang anak jalanan ataupun kakek nenek, seolah-olah rasa iba berjarak sepelemparan koin. Rasa bangga membumbung seoalah menjadi konglomerat yang peduli pada kaum papa. Keramaian maghrib seakan takkan berhenti sebelum matahari bergantian tenggelam digantikan bulan. Dari setiap lorong dan segala bentuk sepetak tanah yang dijadikan ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga bersebelahan dengan kamar mandi mini dan tak lupa tempat solat. Bersahut-sahutan adzan dari segala penjuru corong-corong usang minaret masjid atau bambu penahan toa. Menggema dia terkena tebing-tebing pencakar langit, mencoba menembus kaca dan tembok tebalnya, mencoba dan mencoba menggapai dzat yang harus diketemukan oleh suara adzan : kalbu. Mengingatkan bahwa di segala bentuk artifisial office look kalian semua, masih tersimpan bara kecil akan gempitanya berkejaran menyongsong maghrib di kala belia kalian.


Dan semuanya terpapar jelas pada sore itu. Ketika matahari mulai turun dari peraduan, dan Jakarta masih berdaya untuk selalu begadang. Jakarta bisa menjadi apapun yang kamu mau, dari sudut manapun kamu memandang Jakarta. Seperti sore ini,,ketika Jakarta sembab terguyur hujan di bulan Desember. 

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments