Archive for 2011
BUNTU
Hari ini benar-benar buntu. Pagi yang biasanya berbinar dan menyiramkan percik-percik inspirasi sepertinya tak berpendar kali ini. Otakku berputar tak karuan di episentrumnya, memikirkan logika-logika sebuah penelitian, hipotesis dan segala macam yang berhubungan dengan sebuah jalan keluar dari universitas bernama Skripsi. Kebiruan langit pagi itu serasa tak berarti, hanya sebuah panorama tanpa makna. Aku yang terbiasa mencecak kagum pada pagi, kali ini di saat paling pagi berhadapan dengan laptop. Di jendelanya aku mengintip peluang, memasuki relung kata per kata dan menghitung lewat kolom kolom Excel, sambil sesekali berdoa agar signifikansi tercipta di pedalaman output SPSS. Entahlah, agaknya sebuah penarikan kesimpulan diperlukan berton ton rumus dan penelitian terdahulu. Itulah kenapa mungkin ilmu itu seperti terpasung, atau mungkin aku terlalu lebih tenggelam dalam sebuah subyektifitas atas diriku sendiri dalam blog maupun tulisan. Entahlah..
Kali ini aku bergegas berangkat pagi, melakukan hal yang wajib dalam pengejaranku dari rutinitas kuliah. Hari ini aku konsultasi. Semoga kali ini dosenku banyak memberikan petuah atau sekedar tips untuk penelitianku.
Pagi itu berderet para mahasiswa bergerombol menunggui dosen. Berbinar rona muka mereka sambil menenteng map berwarna warni tebal yang berisi abstraksi dan setumpuk analisis yang berhubungan dengan penelitian mereka. Mahasiswa Akuntansi seperti tak pernah habis-habisnya semangat mereka, di ujung matanya yang tersirat keoptimisan sepertinya berkata “ Aku datang, dunia kerja....” Mereka seperti kawanan domba yang digiring oleh arus sebuah kemapanan, masuk ke kandang besar penggemukan bernama universitas, dijampi jampi sebuah rapalan mantra bernama ekonomi dan satu per satu diberi thick mark dan bertuliskan “Akuntansi”. Seperti halnya domba, sesekali mereka apatis dan mecerna setiap bahan penggemukan tanpa proses internalisasi di otak, yang penting aku gemuk (baca :Nilainya), aku berbeda dan yang akan pertama dijemput mobil bak pick up (dunia kerja). Agaknya mobil pick up tersebut bukan membawa mereka ke tukang jagal tentunya.
Deretan mahasiswa yang bergerombol adalah sebuah komoditas. Komoditas untuk para pencari peluang (baca : Uang). Seperti halnya kampus rakyat lainnya, kampusku masih bersliweran penjaja makanan kecil, dan makanan pasar tradisional. Sedikit banyak proses menunggu dosen telah menjadi rentetan sebuah kesempatan si penjaja untuk mengepulkan asap di dapurnya. Para mahasiswa yang kelelahan menunggu atau yang bahkan kosong perutnya sedari bilik kosan menjadi target pasar potensial.
“ Jajan mas..jajan mbak” sebuah bentuk promosi paling kuno dan ia ucapkan berulang-ulang. Agaknya ilmu marketing juga dikunyah dalam nalarnya.
“Gasik mas..njajan riyin mriki”..sapa sang penjaja ramah.
“Injih bu” jawabku sambil menyiapkan ruang kosong di perutku yang juga sebenarnya kosong.
“Udah lama jualan bu?”
“Sampun mas..kira-kira 18 tahun lah, lumayan lah tambah-tambah penghasilan”
“Ooohh..lama yah.kenapa jualan makanan tradisional bu??
“Lha wong saya suka mas, lagian saya merasa bahagia bisa bikin makan tradisional”
Jawaban ibu yang polos dan simple itu menohokku di dada. Mengguyur air dingin di kepalaku. Mungkin itu adalah jawaban yang lumrah untuk seorang yang kadang tidak kita duga. Passion itu lah yang dimiliki ibu-ibu penjaja makanan ini. Passion adalah segala hal yang sangat amat dinikmati sehingga tidak terpikir untuk tidak melakukannya. Passion adalah dinamo yang menggerakan seluruh elemen tubuh kita untuk melakukannya, digerakan secara dinamis dan elok dari sudut tubuh kita yang peling bermakna : hati. Hari ini mungkin aku tidak bertemu dosenku, tapi hari ini aku belajar tentang passion. Mungkin aku menulis sebuah penelitian, atau melakukan apapun lebih terdorong karena sebuah keharusan dan kewajiban yang harus dijalankan. Ataupun hanya sebuah pemenuhan kebutuhan semu. Mungkin suatu kali aku terbentur tembok dan buntu dan berhenti. Tak ada desakan untuk berbuat lebih baik, tidak ada sebuah keasyikan mencoba hal-hal baru, tidak ada ekstase kegilaan melakukan hal yang diluar nalar. Itulah passion... Itulah kenapa aku selalu tersudut dan berjalan tanpa semangat..
Kawan..sudahkah kau menemukan passion hidupmu ?
Kali ini aku bergegas berangkat pagi, melakukan hal yang wajib dalam pengejaranku dari rutinitas kuliah. Hari ini aku konsultasi. Semoga kali ini dosenku banyak memberikan petuah atau sekedar tips untuk penelitianku.
Pagi itu berderet para mahasiswa bergerombol menunggui dosen. Berbinar rona muka mereka sambil menenteng map berwarna warni tebal yang berisi abstraksi dan setumpuk analisis yang berhubungan dengan penelitian mereka. Mahasiswa Akuntansi seperti tak pernah habis-habisnya semangat mereka, di ujung matanya yang tersirat keoptimisan sepertinya berkata “ Aku datang, dunia kerja....” Mereka seperti kawanan domba yang digiring oleh arus sebuah kemapanan, masuk ke kandang besar penggemukan bernama universitas, dijampi jampi sebuah rapalan mantra bernama ekonomi dan satu per satu diberi thick mark dan bertuliskan “Akuntansi”. Seperti halnya domba, sesekali mereka apatis dan mecerna setiap bahan penggemukan tanpa proses internalisasi di otak, yang penting aku gemuk (baca :Nilainya), aku berbeda dan yang akan pertama dijemput mobil bak pick up (dunia kerja). Agaknya mobil pick up tersebut bukan membawa mereka ke tukang jagal tentunya.
Deretan mahasiswa yang bergerombol adalah sebuah komoditas. Komoditas untuk para pencari peluang (baca : Uang). Seperti halnya kampus rakyat lainnya, kampusku masih bersliweran penjaja makanan kecil, dan makanan pasar tradisional. Sedikit banyak proses menunggu dosen telah menjadi rentetan sebuah kesempatan si penjaja untuk mengepulkan asap di dapurnya. Para mahasiswa yang kelelahan menunggu atau yang bahkan kosong perutnya sedari bilik kosan menjadi target pasar potensial.
“ Jajan mas..jajan mbak” sebuah bentuk promosi paling kuno dan ia ucapkan berulang-ulang. Agaknya ilmu marketing juga dikunyah dalam nalarnya.
“Gasik mas..njajan riyin mriki”..sapa sang penjaja ramah.
“Injih bu” jawabku sambil menyiapkan ruang kosong di perutku yang juga sebenarnya kosong.
“Udah lama jualan bu?”
“Sampun mas..kira-kira 18 tahun lah, lumayan lah tambah-tambah penghasilan”
“Ooohh..lama yah.kenapa jualan makanan tradisional bu??
“Lha wong saya suka mas, lagian saya merasa bahagia bisa bikin makan tradisional”
Jawaban ibu yang polos dan simple itu menohokku di dada. Mengguyur air dingin di kepalaku. Mungkin itu adalah jawaban yang lumrah untuk seorang yang kadang tidak kita duga. Passion itu lah yang dimiliki ibu-ibu penjaja makanan ini. Passion adalah segala hal yang sangat amat dinikmati sehingga tidak terpikir untuk tidak melakukannya. Passion adalah dinamo yang menggerakan seluruh elemen tubuh kita untuk melakukannya, digerakan secara dinamis dan elok dari sudut tubuh kita yang peling bermakna : hati. Hari ini mungkin aku tidak bertemu dosenku, tapi hari ini aku belajar tentang passion. Mungkin aku menulis sebuah penelitian, atau melakukan apapun lebih terdorong karena sebuah keharusan dan kewajiban yang harus dijalankan. Ataupun hanya sebuah pemenuhan kebutuhan semu. Mungkin suatu kali aku terbentur tembok dan buntu dan berhenti. Tak ada desakan untuk berbuat lebih baik, tidak ada sebuah keasyikan mencoba hal-hal baru, tidak ada ekstase kegilaan melakukan hal yang diluar nalar. Itulah passion... Itulah kenapa aku selalu tersudut dan berjalan tanpa semangat..
Kawan..sudahkah kau menemukan passion hidupmu ?
Banjarnegara, hakikat embun kalbumu
Hari masih pagi.Mentari masih bersembunyi di peraduan, samar-samar sinarnya muncul menembus kegamangan awan. Biru-biru cerah muda membias syahdu diterpa setitik-titik cahaya yang timbul dan tenggelam di pertengahan April. Satu per satu burung keluar, menyambut sentuhan pertama mentari. Berdansa mereka di rekahan titik-titik mentari yang semakin jumawa membumbung di horizon. Seperti juga aku, pagi benar aku siapkan kuda besiku. Sudah sedari pagi aku mandikan dia. Rupanya aku terlalu antusias seperti burung gereja di pagi ini.
Silvie - julukan manis untuk kuda besiku- menembus rongga-rongga pagi, menembus putih suci jejatuhan embun yang dingin dan segar. Aku pun laksana embun, kedinginan setelah semalam bersemayam di dedaunan,,aku semalaman menunggu hangat itu,,menyongsong aku menunggu pagi,walau sekejap mata aku diterjang kehangatan itu tapi setetes kebermaknaan lah hakikatku ada. Pagi ini aku menerjang aspal-aspal kedinginan jalanan Bukateja, masih lengang tak banyak hiruk pikuk peradaban terlihat. Tujuanku ke Banjarnegara, daerah yang pernah aku kunjungi sewaktu masih booming promosi murahan Bonbin Seruling Mas, dan kami -aku dan keluargaku- representasi keluarga berencana yang baru beranjak mapan menjadi sasaran empuk promosi itu. Tapi itu udah sangat lama, waktu aku masih asyik dengan tamagochi sepertinya. Memilih jalur Purbalingga pun sebenarnya jalur yang tidak efisien, karena aku memilih jalur yang memutar. Tapi kabar burung yang mengatakan lewat jalur Banyumas lebih berbahaya karena jalurnya masih remaja, dalam artian jerawatan atau bopeng kanan dan kiri.
Purbalingga pun masih menggeliat waktu aku melintas. Jalur sibuk para pekerja pabrik di jalan arterinya masih belum terlihat. Aku seperti tersedot ke mesin waktu, saat masih digdaya dengan putih abu-abu atau putih krem -kebanggaan almamater ganeshaku-. Saat aku masih terlalu muda memandang dunia dan menjamah tiap jengkal Purbalingga. Hawa pagi ini masih sama, saat aku lewat terminal, seperti kulihat bayangku menanti angkutan yang tak jua datang. Saat aku bergegas menghindari jarum jam menunjuk angka tujuh. Bukateja masih laksana kota mati, kota persinggahan antara Banjar dan Purbalingga ini masih lelap dalam tidurnya. Jembatannya yang panjang dan sungai yang sombong membelah kedua daratan itu, landmark kota persinggahan ini.
Banjarnegara masih jauh, belum lagi aku sampai ke Klampok. Akhirnya sampai juga ke Klampok, aku disambut gemerlap pesta demokrasi di Banjarnegara. Muka-muka sok mengayomi menghiasi tiap sudut kota, tipenya hampir sama. Pria setengah baya dengan setelan formal, muka dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan pencitraan yang bersahaja dan yang paling dominan adalah jeans hitam membalut tubuh, setelan itu rupanya belum mampu menyembunyikan perutnya yang secara sembrono menyembul di balutan pencitraan yang dibuat. Taglineku untuk ini : emang perut gak bisa bohong.. :P
Jalanan Banjar masih memanjang. Dataran rendah di kaki Pegunungan Dieng ini terlihat datar. Jalan hanya lurus tanpa banyak pemandangan berarti. Datar seperti kota ini.
Aku pun akhirnya sampai di kostmu. Kumpulan para mahasiswa kebidanan yang berdesakan di bedeng kecil di tengah kota Banjarnegara. Mereka masih muda, seumuranku tapi mempunyai kutukan profesi, yaitu selepas wisuda harus terbiasa dengan panggilan Ibu. Ya, Ibu bidan. Tak seperti biasanya kau sudah siap. Terlihat menawan di mataku yang sedari pagi kelilipan debu jalanan Banjarnegara. Hari ini kami akan berkunjung ke rumah saudaranya di Batur. Tempat dia menghabiskan waktu sewaktu ia masih balita. Dan aku pun mafhum dia terlihat antusias menyambut perjalanan ini. Masa lalu itu layaknya mozaik, tercecer tak jelas di kolong dunia. Maka temukanlah mozaik itu satu per satu agar menjadi penyemangatmu kelak.
( Aku dan kamu laksana embun pagi. Menunggu semalaman menerpa hijau dedaunan, saat mentari merekah dan menggoda atas hangatnya. Hakikat atas kebermaknaan adalah embun itu. Sedetik hilang diterpa mentari yang semalam ia tunggu. Tapi kebermaknaanlah tujuan hidupnya )
* cerita selanjutnya TRIP TO BATUR ======> ON GOING PROJECT
Pasar Kliwon ; sebuah cerita untuk masa depan
Hari itu..ya hari itu,sungguh tak telupakan dan hina dina,hehehe..Tantangan yang amat sangat susah untuk diduga.
Minggu kemarin,kami terguncang sambil tertawa saat angkudes membawa lari tawa kami.Candaan atas teknik mendapatkan pekerjaan yang paling efektif dan efisien berputar di episentrum otak kami.Teknik ini akan merepresentasikan kehandalanmu dalam public speaking, lobbying tingkat tinggi, sedikit ancaman atau segurat muka penuh memelas.Cerminan pribadimu sampai jam 11. Baju kusam sekumal-kumalnya menempel mesra di tubuh kami yang sedari sore tidak berkenalan dengan air, berkolaborasi membentuk simfoni dengan bau mulut yang tak terpoles pasta gigi pagi ini. Sebuah kenyataan atas manusia yang sejatinya bertahta rasionalitas bernama mahasiswa : Pagi ini.
Sudah setengah jam aku memutari Kliwon,sudah banyak lapak yang aku tanyakan kesediaannya.Kadang penolakan halus dan kasar aku telan mentah-mentah.Gelengan kepala atau malah lambaian tanda mengusir kesekiaan kalinya aku terima, tapi itu baru permulaan cerita ini...
Teman-teman yang lain juga masih terlihat berputar kesana kemari, mencari lowongan yang tak pasti.Baru 2 kali putaran, mata kami memincing iri dan melihat sinis.Rupanya Naim sudah mendapat gawe.Celemek KW 2 membungkus lekat tubuhnya yang juga KW 10 karena belum mandi.Kedua tangannya penuh membawa celemek warna-warni cap murahan bikinan sablonan kelas taipan sablon abal-abal.Mukanya berseri seakan kearoganan menyelimuti tiap sudut tawanya, sangat serasi dengan warna merah pasaran dan kuning gigi celemek jualannya. Dia orang pertama yang menyabet pekerjaan, fresh graduate dari Universitas Zona Nyaman (hehe,jadi inget Imeng :P).
Putaran ketiga masih kulihat banyak teman-teman kebingungan.Ade masih canggung berjalan menyisir sisi kiri pasar, mungkin sedang mencari kosakata Bahasa Jawa yang dulu pernah dia buat kamus di semester satu. Anisa, yang biasanya terlihat senyumnya,kali ini masam sambil membenarkan rambut kritingnya yang semalam terbakar, gayanya dengan baju soundrenaline memberikan ketakutan mungkin jika dia dikira bromocorah wanita dengan tato Jagalah Kebersihan.Sesekali terlihat Intan dan Imeng sungguh berat mencari kerja dengan kulit mulus kalian.Dan Wie Lie masih berjalan setengah berlari sambil memikirkan alasan apa untuk bisa menggerakan hati orang pasar agar memperkerjakannya. Tio rupanya sudah berganti profesi,setelah setengah jam lalu mondar mandir sebagai broker air mineral, kali ini dia terlihat percaya diri meneteng jajanan pasar, klanting dan kawan-kawannya. Sungguh dinamisasi yang luar biasa oleh Ketua Semnas ini, dia sekarang pun resmi menyandang gelar Cabang Berjalan Klanting Gurih.Kami membaur menanyakan kesana kemari, mencari setipis-tipisnya kesempatan, mencari ilmu yang tak pernah ditulis oleh Professor manapun.
Aku berhenti sejenak di depan pasar. Kulihat banyak muka-muka agak eksotis tersiram cahaya matahari sedari siang.Ardhi masih ketawa ketiwi sambil berbincang-bincang dengan tukang parkir dan andong kuda.Aku harap dia tidak sedang mempresentasikan dirinya untuk menggantikan kuda. Denis sudah resign dari dunia entertainment setelah dia selaku Pimpinan Konser dan artisnya Eto merasa tidak diapresiasi oleh pendengar segmentasi pasar. Baru sebuah lagu didendangkan oleh Eto dengan penuh penghayatan dan nada-nada yang tak lepas dari pitch sudah diganjar dengan bulatan kecil warna perak dengan angka 1 dan nol dua mengekor. Track recordnya sebagai penyanyi kampus dan pencitraan mukanya yang agak mendukung pun sepertinya tak banyak membantu si Penjual Bawang untuk tak ragu menambal mulutnya dengan receh dua ratus.
Aku masuk ke pasar lagi,aku memberanikan diri menanyakan pekerjaan ke penjual bawang. Mukanya sudah tak muda lagi, tempaan berpuluh-puluh tahun atas ekspektasi mencari laba. Dagangannya masih banyak, kadang juga bau-bau tak sedap tanda busuk kerap tercium.Stock opname bulan lalu mungkin belum BEP. Kutatap matanya yang mulai lelah, kuajukan alasan secara halus dengan bahasa Kromo Inggil. Rupanya beliau sedari tadi belum ada satu pun konsumen yang mendekat dan menyatakan keengganan untuk memperkerjakanku sampai jam 11. Aku pun berlalu dan si Mbah rupanya memanggilku sambil berucap "Kiye nggo ongkos bali nduk, sinau sing pinter ben dadi dokter ".Tangannya mengulurkan lembaran Kapitan Pattimura. Sejurus kemudian dia tersenyum memamerkan giginya yang merah karena kinang. Mata agak berkaca-kaca dan gemetar menerima hadiah itu (lebe).Dan aku belajar hari ini bahwa yang besar dan prestige tidak selamanya memberi kesempatan, justru banyak orang yang kekurangan dan tertindas lebih memperhatikan sekitar.
Uang 3000 sudah aku genggam setelah seribu dari penjual bawang dan 2000 dari jasa cuci piring mie ayam. Masih defisit 2000, kembali aku berputar untuk kesekian kalinya.Rupanya kebanyakan temanku sudah merasa nyaman bekerja. Wie Lie sedang asyik memutar-mutar lombok, berkelompok dengan Meidita dan Sebastian. Denis rupanya masih terpukul dengan kemunduran bisnis entertainmentnya, dan merasa keberatan setelah ditinggal artisnya untuk membabukan diri :P ."Kang dah dapet berapa ??" tanyaku
" Wah masih stagnan kang "
Akhirnya kami sepakat jalan-jalan ke daerah perumahan belakang pasar. Dani dan Ami terlihat membungkuk di depan sebuah rumah, rupanya mereka sedang bernegosiasi.Kami lewat sambil lalu. Kemudian mereka memanggil kami dan secara eksplisit mereka telah membuktikan kapabilitas mereka dalam mencari pekerjaan. Dan 2 motor pun menanti untuk dimandikan. Rupanya kami mendapat pekerjaan yang lekat dengan keimanan seorang insan manusia kepada Tuhannya. Kami bekerja atas asas mulia " Kebersihan adalah sebagian dari Iman" dan berharap pahala runtuh sekenanya. Orang pesimis sie bilang kita jadi pembokat :P
Setelah sejam puas memandikan motor orang lain,kami sepakat istirahat. Sebelum si punya rumah - ibu ibu setengah baya dengan perut tingkat tiga- menunjuk ke arah pojok rumah dan menyuruh dengan nada sol " Itu potnya dipindahin ya mas ".Setelah sejam bekerja atas titah keimananan kami selanjutnya setengah merunduk menjinjing jinjing pot. Dan secara yudikatif, status pekerjaan kami berubah menjadi desainer outdoor.Bahasa orang pesimisnya sie tukang kebun :P
Dani dan Ami masih terlihat suaranya dari luar.Mereka bertugas menyapu dan mengepel, tugas sehari-hari yang jamak dilakukan kaum Hawa. Maka mereka pun secara simultan berjalan ke arah kanan dan kiri ; memikat bagai balerina yang menyisir panggung. Aih, rupanya mereka terlalu mendalami pekerjaan ini.
Akhirnya selesai sudah pekerjaan kami.Uang dua puluh ribu seakan tersenyum kepada kami berempat. Tanda kami bisa pulang ke BBI singasari,karanglewas.
Perjalanan hari ini pun usai, atas petualangan pengalaman tanpa batas. Tantangan kali ini bukti sahih kedewasaan kalian. Hari itu, kami menahbiskan diri bekerja sekenanya. Itulah hakikat kita berada dalam lingkaran keluarga ini. Untuk melayani, tanpa lelah, maksimal dan tak kehilangan senyum.
Minggu kemarin,kami terguncang sambil tertawa saat angkudes membawa lari tawa kami.Candaan atas teknik mendapatkan pekerjaan yang paling efektif dan efisien berputar di episentrum otak kami.Teknik ini akan merepresentasikan kehandalanmu dalam public speaking, lobbying tingkat tinggi, sedikit ancaman atau segurat muka penuh memelas.Cerminan pribadimu sampai jam 11. Baju kusam sekumal-kumalnya menempel mesra di tubuh kami yang sedari sore tidak berkenalan dengan air, berkolaborasi membentuk simfoni dengan bau mulut yang tak terpoles pasta gigi pagi ini. Sebuah kenyataan atas manusia yang sejatinya bertahta rasionalitas bernama mahasiswa : Pagi ini.
Sudah setengah jam aku memutari Kliwon,sudah banyak lapak yang aku tanyakan kesediaannya.Kadang penolakan halus dan kasar aku telan mentah-mentah.Gelengan kepala atau malah lambaian tanda mengusir kesekiaan kalinya aku terima, tapi itu baru permulaan cerita ini...
Teman-teman yang lain juga masih terlihat berputar kesana kemari, mencari lowongan yang tak pasti.Baru 2 kali putaran, mata kami memincing iri dan melihat sinis.Rupanya Naim sudah mendapat gawe.Celemek KW 2 membungkus lekat tubuhnya yang juga KW 10 karena belum mandi.Kedua tangannya penuh membawa celemek warna-warni cap murahan bikinan sablonan kelas taipan sablon abal-abal.Mukanya berseri seakan kearoganan menyelimuti tiap sudut tawanya, sangat serasi dengan warna merah pasaran dan kuning gigi celemek jualannya. Dia orang pertama yang menyabet pekerjaan, fresh graduate dari Universitas Zona Nyaman (hehe,jadi inget Imeng :P).
Putaran ketiga masih kulihat banyak teman-teman kebingungan.Ade masih canggung berjalan menyisir sisi kiri pasar, mungkin sedang mencari kosakata Bahasa Jawa yang dulu pernah dia buat kamus di semester satu. Anisa, yang biasanya terlihat senyumnya,kali ini masam sambil membenarkan rambut kritingnya yang semalam terbakar, gayanya dengan baju soundrenaline memberikan ketakutan mungkin jika dia dikira bromocorah wanita dengan tato Jagalah Kebersihan.Sesekali terlihat Intan dan Imeng sungguh berat mencari kerja dengan kulit mulus kalian.Dan Wie Lie masih berjalan setengah berlari sambil memikirkan alasan apa untuk bisa menggerakan hati orang pasar agar memperkerjakannya. Tio rupanya sudah berganti profesi,setelah setengah jam lalu mondar mandir sebagai broker air mineral, kali ini dia terlihat percaya diri meneteng jajanan pasar, klanting dan kawan-kawannya. Sungguh dinamisasi yang luar biasa oleh Ketua Semnas ini, dia sekarang pun resmi menyandang gelar Cabang Berjalan Klanting Gurih.Kami membaur menanyakan kesana kemari, mencari setipis-tipisnya kesempatan, mencari ilmu yang tak pernah ditulis oleh Professor manapun.
Aku berhenti sejenak di depan pasar. Kulihat banyak muka-muka agak eksotis tersiram cahaya matahari sedari siang.Ardhi masih ketawa ketiwi sambil berbincang-bincang dengan tukang parkir dan andong kuda.Aku harap dia tidak sedang mempresentasikan dirinya untuk menggantikan kuda. Denis sudah resign dari dunia entertainment setelah dia selaku Pimpinan Konser dan artisnya Eto merasa tidak diapresiasi oleh pendengar segmentasi pasar. Baru sebuah lagu didendangkan oleh Eto dengan penuh penghayatan dan nada-nada yang tak lepas dari pitch sudah diganjar dengan bulatan kecil warna perak dengan angka 1 dan nol dua mengekor. Track recordnya sebagai penyanyi kampus dan pencitraan mukanya yang agak mendukung pun sepertinya tak banyak membantu si Penjual Bawang untuk tak ragu menambal mulutnya dengan receh dua ratus.
Aku masuk ke pasar lagi,aku memberanikan diri menanyakan pekerjaan ke penjual bawang. Mukanya sudah tak muda lagi, tempaan berpuluh-puluh tahun atas ekspektasi mencari laba. Dagangannya masih banyak, kadang juga bau-bau tak sedap tanda busuk kerap tercium.Stock opname bulan lalu mungkin belum BEP. Kutatap matanya yang mulai lelah, kuajukan alasan secara halus dengan bahasa Kromo Inggil. Rupanya beliau sedari tadi belum ada satu pun konsumen yang mendekat dan menyatakan keengganan untuk memperkerjakanku sampai jam 11. Aku pun berlalu dan si Mbah rupanya memanggilku sambil berucap "Kiye nggo ongkos bali nduk, sinau sing pinter ben dadi dokter ".Tangannya mengulurkan lembaran Kapitan Pattimura. Sejurus kemudian dia tersenyum memamerkan giginya yang merah karena kinang. Mata agak berkaca-kaca dan gemetar menerima hadiah itu (lebe).Dan aku belajar hari ini bahwa yang besar dan prestige tidak selamanya memberi kesempatan, justru banyak orang yang kekurangan dan tertindas lebih memperhatikan sekitar.
Uang 3000 sudah aku genggam setelah seribu dari penjual bawang dan 2000 dari jasa cuci piring mie ayam. Masih defisit 2000, kembali aku berputar untuk kesekian kalinya.Rupanya kebanyakan temanku sudah merasa nyaman bekerja. Wie Lie sedang asyik memutar-mutar lombok, berkelompok dengan Meidita dan Sebastian. Denis rupanya masih terpukul dengan kemunduran bisnis entertainmentnya, dan merasa keberatan setelah ditinggal artisnya untuk membabukan diri :P ."Kang dah dapet berapa ??" tanyaku
" Wah masih stagnan kang "
Akhirnya kami sepakat jalan-jalan ke daerah perumahan belakang pasar. Dani dan Ami terlihat membungkuk di depan sebuah rumah, rupanya mereka sedang bernegosiasi.Kami lewat sambil lalu. Kemudian mereka memanggil kami dan secara eksplisit mereka telah membuktikan kapabilitas mereka dalam mencari pekerjaan. Dan 2 motor pun menanti untuk dimandikan. Rupanya kami mendapat pekerjaan yang lekat dengan keimanan seorang insan manusia kepada Tuhannya. Kami bekerja atas asas mulia " Kebersihan adalah sebagian dari Iman" dan berharap pahala runtuh sekenanya. Orang pesimis sie bilang kita jadi pembokat :P
Setelah sejam puas memandikan motor orang lain,kami sepakat istirahat. Sebelum si punya rumah - ibu ibu setengah baya dengan perut tingkat tiga- menunjuk ke arah pojok rumah dan menyuruh dengan nada sol " Itu potnya dipindahin ya mas ".Setelah sejam bekerja atas titah keimananan kami selanjutnya setengah merunduk menjinjing jinjing pot. Dan secara yudikatif, status pekerjaan kami berubah menjadi desainer outdoor.Bahasa orang pesimisnya sie tukang kebun :P
Dani dan Ami masih terlihat suaranya dari luar.Mereka bertugas menyapu dan mengepel, tugas sehari-hari yang jamak dilakukan kaum Hawa. Maka mereka pun secara simultan berjalan ke arah kanan dan kiri ; memikat bagai balerina yang menyisir panggung. Aih, rupanya mereka terlalu mendalami pekerjaan ini.
Akhirnya selesai sudah pekerjaan kami.Uang dua puluh ribu seakan tersenyum kepada kami berempat. Tanda kami bisa pulang ke BBI singasari,karanglewas.
Perjalanan hari ini pun usai, atas petualangan pengalaman tanpa batas. Tantangan kali ini bukti sahih kedewasaan kalian. Hari itu, kami menahbiskan diri bekerja sekenanya. Itulah hakikat kita berada dalam lingkaran keluarga ini. Untuk melayani, tanpa lelah, maksimal dan tak kehilangan senyum.
Wanita pemilik pagi
Pagi merekah di ufuk timur, mulai terbuka sejak mentari dengan digdaya muncul ke permukaan samar-samar. Warnanya tersamar dengan malam yang mulai memudar, berpendar membentuk warnanya oranye beradu dengan hitam pekat. Dari penjuru arah angin, sayup-sayup terdengar adzan. Dari menara-menara masjid yang terpantul cahaya gemerlap mentari itu suara adzan menusuk pagi. Muadzin menarik panjang suaranya, menukik pada bagian akhirnya. Saat idzhar terbaca jelas dan ikhfa tersamar nadanya, membentuk alunan nada milik Illahi Robi.
Wanita itu masih duduk di sajadahnya, setelah pada sepertiga malam mulai menegakan badannya dan melawan dingin untuk sekedar memenuhi sunahNya.Sebelum adzan mulai samar-samar terdengar ia panjatkan lantunan ayat Al quran. Bernada sedemikian indahnya, naik turun dengan sangat cantik. Dia bahkan tak pernah bisa tuk sekedar bernyanyi. Tapi lantunan tiap sepertiga malam itu adalah bentuk rintihan dan curhatan atas hidup yang semakin tak pasti. Ditumpahkan semua gelora yang terekam di dalam dada, terangkum dalam naik turun yang membahana. Hingga dia membaca akhir dari surah Al quran desahannya terhenti dan rasa ngilunya hilang. Terganti dengan rasa dingin ketentraman yang mulai menggerayangi dari sudut kalbu dan meluas sampai keseluruh tubuhnya.
Sedetik kemudian tangan yang mulai renta menggoyang-goyangkan tubuhku. Berharap aku tersadar dari tidurku. Kadang dia terlampau bersemangat untuk membangunkanku, sampai ada sebuah teriakan. Entahlah…. Teriakan yang tulus dari tangan-tangan Tuhan yang suci sepertinya.
Walau terlihat lemah saat membaca lantunan ayat suci namun dirinya harus menjadi penjaga akhlak kami. Segala cara dan upaya dikerahkannya untuk menajalankan misi mulianya. Membangun keluarga Islam yang kuat sedari Subuh. Perubahan sifat yang begitu drastis itu menunjukan komitmennya yang tiada henti kepada kami. Dia takkan pernah berharap kami melihat momentum sebelum membangunkan kami.Buatnya hal yang perlu dikenal darinya cukup satu kalimat lugas : tegas dan istiqomah !
Memang untukku sebenarnya Subuh itu sangat indah. Berlarian dengan ikomah, berharap tak sampai tertinggal rakaat. Atau saat alunan adzan khas subuh yang berarti solat itu lebih baik dari tidur. Entahlah aku merasakan kantuk yang teramat hebat pada bagian refrain tersebut. Seolah-olah tiap kelopak mataku dijejali dengan milyaran Iblis yang meniupkan angin-angin nikmat pembuat kantuk. Atau memelukku erat hingga sekujur tubuh didera kedinginan yang kelu dari ujung kaki ke ujung kepala dan bagian otakku mengomandoi untuk segera menarik selimut. Subuh teramat berat untukku.
Tapi itu sebelum cipratan air itu menerjang mukaku. Aih..tips terakhir membangunkan orang yang bergundik dengan setan. Wanita itu mulai kehabisan kesabaran rupanya.
Tahukah kau Kawan, berlarian untuk mengejar subuh adalah hal yang membuat stimulan paling berharga untukmu. Mengejar alunan adzan sebelum berhenti di akhir, berlarian bersanding rekahan mentari yang tersudut di timur. Saat kakimu mulai meregang dan jantungmu berdetak memompa ke sekujur tubuh, seolah berdzikir dan tiada henti melantunkan syukur atas nikmat pagi dan Subuh.
Duhai kau wanita pemilik pagi, bangganya aku menyebutmu Ibu.
Akulah pria yang menolak altar suci keilmuan Jogja !!!
Mendung masih menggantung di ufuk.Memberi sebuah kemuraman yang gelap dan mengiris sendi-sendi keceriaan. Titik demi titik air meluncur lepas dari genggaman awan, tanpa ragu menerjang bumi yang tersungkur penuh debu. Laju kereta yang mengaum sedari setengah jam yang lalu berbaur dengan rintik hujan membentuk simfoni antara orkestra alam dan kedigdayaan manusia. Hari itu,sekitar bulan April tahun 2008 aku dan temanku(sebut saja Deni) berguncang menikmati kereotan kereta api ekonomi ke Jogja. Wangi anyir dan pesing adalah hal yang sangat lazim, membaur sekenanya ke lubang-lubang hidung yang telah disetting agar tak peka. Wangi itu semakin menjadi jadi saat berbaur dengan bawaan sayur-sayuran dan bawaan kelas ekonomi penumpangnya. Seakan telah menjadi skenario keanyiran kelas ekonomi, naiklah penghibur kelas ekonomi yang khas, buas, dan yaaaa..cukup menghibur. Mereka adalah orkes dangdut lintas gender, berbadan tegap laksana kuli panggul pasar pagi, membawa snar bass berhias kayu kotak bernada beeemm,,beeeemmm seenaknya. Dan yang fenomenal adalah yel mereka..Itikiwir…sebuah brand tersendiri atas ribuan kali pencarian jati diri dalam karier bermusik mereka. Suasana itu membaur,sekenanya, hujan, amis, dan orkes transjender,..sangat ekonomi,,sangat merakyat dan Indonesia sekali.
Aku dan Deni adalah teman semenjak SMP dan berpisah saat SMA. Kami berdua mempunyai obsesi yang sama – Jogja. Entah mengapa nama kota itu seperti magnet, memberi keterikatan yang amat dalam. Seolah olah setiap mimpi-mimpi besar berpusat di kota itu. Kami mendamba mendapat universitas negeri disana, keluar dari pergaulan Purwokerto yang membosankan , hidup ngekost sambil menikmati Jogja dan lulus dengan predikat cum laude. Skenario sempurna. Sejak sebulan kami berselancar mencari informasi, aku ingin melanjutkan ke ekonomi dan Deni lebih tertarik ke jurusan Kehutanan. Landmark universitas itu telah menghantui mimpi kami setiap malam, bangunannya yang gigantis pertanda prestise tersendiri, altar almamaternya yang gemerlap menjanjikan masa depan cerah gumintang.
Bunyi peron dan cincitan rem kereta menghentak menghentikan perjalanan ini. Ya,Jogja tempat semua altar ilmu bertumpu menjadi satu. Dan kami menginjakan hentakan pertama di kota ini.
Mei 2008
Purwokerto masih tergenang hujan sedari malam. Deni berdiri tegak memandangi jam dinding yang belum bergerak sedetik yang lalu. Menanti jam setengah 7 yang masih 5 menit lagi. Di jam itu , loper koran melempar koran ke rumahnya. Tak pernah dia begitu perhatian atas tiap detik menanti jam 7 sebelumnya. Di lembar-lembar koran tersebut akan ada nama-nama agung siswa siswi terbaik nusantara yang masuk Universitas prestisius itu. Kerja kerasnya selama sebulan berjibaku menghadapi ujian masuk setelah 3 bulan sebelumnya lagi memperdalam dan memprediksi soal-soal di bimbel ternama.
Setengah Tujuh
Mata Deni terbelalak, memeriksa satu per satu baris nama yang terpampang di koran. Dibaca dengan saksama dan memincing mata sampai korneanya berkontraksi sedetail mungkin. Dibaca dari atas sampai bawah setelah membacanya 3 kali. Dia baca sampai ke fakultas yang tidak pernah dimauinya, kali saja dia ada disana.
Nafasnya terhenti, meleleh dipertengahan oksigen di parunya. Setetes air bening mengucur pelan di pipinya, nafas itu melahirkan air mata. Oksigen-oksigen seolah berkejaran membentuk ritme sesenggukan. Otaknya terus menerawang atas doa-doa yang dipanjatkan ibunya tiap malam. Imajinya menggantung terpaku pada harapan besar ayahnya. Tiga bulan lamanya ia bergelut dengan buku, tiga tahun lamanya ia memperluas kenalan dengan kakak angkatan yang kuliah di Universitas idamannya. Tiap malam dari bada maghrib sampai menjelang tengah malam,secangkir kopi menemani pergumulannya dengan buku. Deni takkan pernah menangis semelankolis ini jikalau Jogja tak membiusnya.
Januari 2011
Kutatap benar profil jejaring sosial itu. Nama yang tak asing, rupanya hidup telah mengubahnya. Foto profilnya memegang erat trofi pertama seumur hidupnya dan senyum seringai liciknya yang tak berubah seolah ingin katakan “Banggalah padaku dunia” !!!.
Aku menyeruput dalam-dalam coffemixku dan membayangkan momen bersamanya. Sekilas aku berpikir rupanya Tuhan lebih tahu jalan hidup kita.
Deni temanku dengan bangga memegang trofi debat di Universitas negeri di luar jawa. Setelah Jogja menolaknya dia dengan sikap elegan memalingkan muka. Berteriak dia kepada sambil menunjukan peta Indonesia, rupanya ia menunjuk bagian paling bawah di pulau Sumatera. Rupanya ia muak dengan impian Jogjanya, ia ingin sesuatu yang menantang dan di pulau itulah dia berlabuh.
Deni adalah seorang petualang sejati, dirinya adalah orang paling keras yang pernah aku kenal. Saat penolakan ujian masuk itu, dia membisikan kata paling mujarab “ Suatu saat aku lah yang akan menolak Jogja !!!”.
Hidup dengan bermimpi adalah sebuah keberanian. Saat kita bermimpi dan sudah mengerahkan seluruh kemampuan kita, maka pada hakikatnya kitalah pemenang sejati. Perjalanan sang waktu dan takdir memang merupakan hak sepenuhnya Sang Kuasa. Saat kaudapati dirimu gagal, saat itulah Tuhan telah menciptakan ribuan pintu-pintu kesuksesanmu yang baru. Jangan terlampau lama larut di pintu tertutup itu….ayo bangkit dan buka pintu rahmah Illahi takdirmu sebenarnya : kesuksesan !!!
Aku dan Deni adalah teman semenjak SMP dan berpisah saat SMA. Kami berdua mempunyai obsesi yang sama – Jogja. Entah mengapa nama kota itu seperti magnet, memberi keterikatan yang amat dalam. Seolah olah setiap mimpi-mimpi besar berpusat di kota itu. Kami mendamba mendapat universitas negeri disana, keluar dari pergaulan Purwokerto yang membosankan , hidup ngekost sambil menikmati Jogja dan lulus dengan predikat cum laude. Skenario sempurna. Sejak sebulan kami berselancar mencari informasi, aku ingin melanjutkan ke ekonomi dan Deni lebih tertarik ke jurusan Kehutanan. Landmark universitas itu telah menghantui mimpi kami setiap malam, bangunannya yang gigantis pertanda prestise tersendiri, altar almamaternya yang gemerlap menjanjikan masa depan cerah gumintang.
Bunyi peron dan cincitan rem kereta menghentak menghentikan perjalanan ini. Ya,Jogja tempat semua altar ilmu bertumpu menjadi satu. Dan kami menginjakan hentakan pertama di kota ini.
Mei 2008
Purwokerto masih tergenang hujan sedari malam. Deni berdiri tegak memandangi jam dinding yang belum bergerak sedetik yang lalu. Menanti jam setengah 7 yang masih 5 menit lagi. Di jam itu , loper koran melempar koran ke rumahnya. Tak pernah dia begitu perhatian atas tiap detik menanti jam 7 sebelumnya. Di lembar-lembar koran tersebut akan ada nama-nama agung siswa siswi terbaik nusantara yang masuk Universitas prestisius itu. Kerja kerasnya selama sebulan berjibaku menghadapi ujian masuk setelah 3 bulan sebelumnya lagi memperdalam dan memprediksi soal-soal di bimbel ternama.
Setengah Tujuh
Mata Deni terbelalak, memeriksa satu per satu baris nama yang terpampang di koran. Dibaca dengan saksama dan memincing mata sampai korneanya berkontraksi sedetail mungkin. Dibaca dari atas sampai bawah setelah membacanya 3 kali. Dia baca sampai ke fakultas yang tidak pernah dimauinya, kali saja dia ada disana.
Nafasnya terhenti, meleleh dipertengahan oksigen di parunya. Setetes air bening mengucur pelan di pipinya, nafas itu melahirkan air mata. Oksigen-oksigen seolah berkejaran membentuk ritme sesenggukan. Otaknya terus menerawang atas doa-doa yang dipanjatkan ibunya tiap malam. Imajinya menggantung terpaku pada harapan besar ayahnya. Tiga bulan lamanya ia bergelut dengan buku, tiga tahun lamanya ia memperluas kenalan dengan kakak angkatan yang kuliah di Universitas idamannya. Tiap malam dari bada maghrib sampai menjelang tengah malam,secangkir kopi menemani pergumulannya dengan buku. Deni takkan pernah menangis semelankolis ini jikalau Jogja tak membiusnya.
Januari 2011
Kutatap benar profil jejaring sosial itu. Nama yang tak asing, rupanya hidup telah mengubahnya. Foto profilnya memegang erat trofi pertama seumur hidupnya dan senyum seringai liciknya yang tak berubah seolah ingin katakan “Banggalah padaku dunia” !!!.
Aku menyeruput dalam-dalam coffemixku dan membayangkan momen bersamanya. Sekilas aku berpikir rupanya Tuhan lebih tahu jalan hidup kita.
Deni temanku dengan bangga memegang trofi debat di Universitas negeri di luar jawa. Setelah Jogja menolaknya dia dengan sikap elegan memalingkan muka. Berteriak dia kepada sambil menunjukan peta Indonesia, rupanya ia menunjuk bagian paling bawah di pulau Sumatera. Rupanya ia muak dengan impian Jogjanya, ia ingin sesuatu yang menantang dan di pulau itulah dia berlabuh.
Deni adalah seorang petualang sejati, dirinya adalah orang paling keras yang pernah aku kenal. Saat penolakan ujian masuk itu, dia membisikan kata paling mujarab “ Suatu saat aku lah yang akan menolak Jogja !!!”.
Hidup dengan bermimpi adalah sebuah keberanian. Saat kita bermimpi dan sudah mengerahkan seluruh kemampuan kita, maka pada hakikatnya kitalah pemenang sejati. Perjalanan sang waktu dan takdir memang merupakan hak sepenuhnya Sang Kuasa. Saat kaudapati dirimu gagal, saat itulah Tuhan telah menciptakan ribuan pintu-pintu kesuksesanmu yang baru. Jangan terlampau lama larut di pintu tertutup itu….ayo bangkit dan buka pintu rahmah Illahi takdirmu sebenarnya : kesuksesan !!!
Hari itu,di penghujung Desember
Hujan yang sedari menggenangi kota ini dalam keputusasaan.Menyirami tiap sudutnya dari air yang dijatuhkan dari gumpalan awan kelabu.Menghilangkan semua aktivitas yang seharusnya dilaksanakan.Ini adalah momen paling sendu sepanjang tahun. Penghujung tahun adalah waktu paling sendu untuk para aktivis,dan pemangku kebijaksanaan.Hari dimana tiap detik yang dilalai sebelumnya dipertanggungjawabkan sepenuhnya.Desember pada saat hujan turun deras dan mengusir debu tanggung jawab.
Seperti hari biasanya,aku sisipkan mantel merahku yang berhias masuk ke dalam tasku.Takkan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti di bulan Desember.Tak seperti biasanya kampusku ramai oleh baliho dan umbul-umbul bertuliskan kalimat yang menjanjikan surgawi,rupanya tidak untuk semua orang bahwa akhir tahun adalah keputusasaan.Kalimat yang sangat inspiratif seperti..ya bisa!!..lanjutkan..!!klisekah??entahlah semoga saja kalimat optimis itu tak hilang karena hujan pada sore harinya.
Fakultas Ekonomi dengan landmark yang sangat familiar-orang menunggang kuda-di lapangan depannya tegak menantang mendung.Padahal sebenarnya para penjual tahu penyet atau jagung bakar pun tahu bahwa sang Jendral sakit-sakitan dan sangat tidak mungkin untuk duduk di kudanya.Itulah propaganda kampus,sebuah hiperbol.Untuk merujuk para lulusan kampus ini adalah kualitas jendral penunggang kuda sembrani.Kampus yang sesak dengan hedonism dan berjuta hal-hal material yang harus ditelan bulat-bulat di kepala para manusia bernama mahasiswa Fakultas Ekonomi .Itulah aku yang secara administrative dipanggil C1C008059.Satu diantara ribuan kepala di kampus pak penunggang kuda.
Kulintas bangunan besar,sebuah perpustakaan dan baliho 2 bulan lalu,samar-samar kubaca Simposium Nasional Akuntansi XIII Purwokerto.Ya,13 Oktober.Saat itulah semuanya berawal.Hari itu adalah hari dimana mimpi menjadi keniscayaan,bagaimana mungkin kampus ini mampu menghadirkan event sebesar itu.Terpikir pun tidak.Namun tak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Simposium Nasional Akuntansi adalah event yang digelar oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Kompartement pendidikan,yang berupaya untuk menggalakan dan memberikan info hangat seputar dunia akuntansi ke para calon akuntan-mereka yang duduk di perguruan tinggi.Kampus ini jelas bukan sebuah tujuan yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya.SNA selalu digelar di kampus yang bila orang mendengarnya akan mendesah nafas dan membayangkan betapa hebatnya.SNA selalu digelar di kutub-kutub pendidikan yang selalu melahirkan para pemikir dan cendikiawan yang malang melintang di Nusantara.Sementara disini,kami bahkan kadang masih gamang atas pencatatan barang dagangan apakah menggunakan FIFO ataupun LIFO.SNA merupakan ajang pamer infrastruktur dan pencapain para civitas akademika di dalamnya.Tapi lihatlah kita,berkubang dalam keringat dan panas tanpa pendingin ruangan.Tapi semua itu hanya factor yang tak sepenuhnya diperhitungkan.
Pada saat SNA XII Palembang,para dosen dengan segala upaya memberikan presentasi untuk membujuk tim pelaksana agar dapat melaksanakan SNA di Purwokerto.Waktu itu public lebih tertarik pada Universitas………….yang menjanjikan Bunaken sebagai wisata refreshing di dalam paket SNAnya.Tapi mereka,para dosen dengan tegas dan kepala tegak mengikrarkan,,,ya kami punya Nusakambangan,tempat para penjahat kelas kakap dan koruptor menghabiskan sisa hidupnya.Itulah mereka kawan dengan percaya diri mampu keluar dari hal yang biasa dan membosankan.Mereka yang berpikir out of the box lah yang juara.Tapi bukan melulu wisata yang dibacarakan,Purwokerto adalah kota yang sedang berkembang ke arah edukatif,dan banyak menarik siswa dari luar daerah seperti Jawa Barat dan Jakarta.Inilah calon kutub perubahan di daerah Banyumas.
Seminggu setelah palu diketuk dan diputuskan SNA akan digelar di Purwokerto,dibentuklah panitia gabungan antara dosen dan mahasiswa.Banyak masalah yang harus diselesaikan.Dana,akomodasi dan banyak hal yang harus segera dipecahkan.Secara geografis,Purwokerto adalah daerah yang tanggung tanpa bandara.Dan tebaklah apa yang harus dilakukan mereka-para orang penting- menghabiskan 3 atau 5 jam di alat transportasi yang tak pernah mereka pakai selepas bandara??Maka digodoklah berbagai konsep dan upaya untuk meredam kecapaian para calon peserta SNA selama perjalanan.Upaya itu disebut keramahan.Para Lision Officer(LO) harus berupaya meregangkan kedua bibir mereka selebar dan seramah mungkin.Konsep ini mungkin kuno namun itu bekerja dengan baik.Maka dapat ditarik kesimpulan,jika anda capek,letih,lesu maka tersenyumlah.
Proses terus berlangsung,konsep terus digodok dan permasalah ditekan hingga sama sekali tak ada.Maka hari itu pun dating,13 Oktober.Matahari menyingsing di horizon,membias oranye berhadapan langsung dengan dominan biru muda.Bandara Adi Sucipto dan smua bandara di Pulau Jawa dipenuhi makhluk penjemput berpakaian batik biru,Itulah mereka Akomodasi dan Transportasi.Sementara itu ratusan kilometer di kampus kita telah banyak kerumunan yang mencoba menegakan baliho sepanjang jalan dan kami, mencoba mempersiapkan setiap detail dari apa-apa yang akan dibutuhkan.Semuanya terlihat bersemngat,menggarap proceeding,merapikan tas-tas merchandise,menjinjing peraltan untuk pameran,merapikan make up bagi tim penerima tamu,koordinasi dengan satpam untuk jaminan keamanan,menghubungi Bawor yang sedari tadi belum muncul.Itulah hasrat yang ditunjukan dalam dinamisasi kampus ini,semuanya bergerak,kedepan,melangkah dengan pasti dan mempersiapkan yang terbaik.Sekecil apapun,apakah karena kamu hanya tukang jinjing,semuanya antusias menyambut event yang mungkin takkkan pernah datang kedua kalinya ke kampus ini.
Para peserta mulai datang dan menghambur keluar.Kami dari semua elemen divisi telah menyiapkan jurus andalan kami.Maka setiap mereka yang berbaju batik hijau akan menghambar segaris senyum di bawah hidung mereka.Tim Perkap membawa barang pun dengan senyum,mungkin sebenarnya senyum getir karena bawaannya memang berat.Para peserta pun menanyakan segala hal tentang kampus,gedung apalah,dibangun kapanlah,buat apalah dan kami senantiasa mengandalkan jurus andalan tadi senyum,bingung tentunya.Namun apa yang disebut keterbatasan itu dianggap oleh para pesohor dan pendekar akuntansi itulah yang dimaksud dengan kenikmatan perjalanan akademis.
Simposium Nasional…event sebesar itu,mungkin takkan pernah terulang lagi di kampus ini.
Seperti hari biasanya,aku sisipkan mantel merahku yang berhias masuk ke dalam tasku.Takkan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti di bulan Desember.Tak seperti biasanya kampusku ramai oleh baliho dan umbul-umbul bertuliskan kalimat yang menjanjikan surgawi,rupanya tidak untuk semua orang bahwa akhir tahun adalah keputusasaan.Kalimat yang sangat inspiratif seperti..ya bisa!!..lanjutkan..!!klisekah??entahlah semoga saja kalimat optimis itu tak hilang karena hujan pada sore harinya.
Fakultas Ekonomi dengan landmark yang sangat familiar-orang menunggang kuda-di lapangan depannya tegak menantang mendung.Padahal sebenarnya para penjual tahu penyet atau jagung bakar pun tahu bahwa sang Jendral sakit-sakitan dan sangat tidak mungkin untuk duduk di kudanya.Itulah propaganda kampus,sebuah hiperbol.Untuk merujuk para lulusan kampus ini adalah kualitas jendral penunggang kuda sembrani.Kampus yang sesak dengan hedonism dan berjuta hal-hal material yang harus ditelan bulat-bulat di kepala para manusia bernama mahasiswa Fakultas Ekonomi .Itulah aku yang secara administrative dipanggil C1C008059.Satu diantara ribuan kepala di kampus pak penunggang kuda.
Kulintas bangunan besar,sebuah perpustakaan dan baliho 2 bulan lalu,samar-samar kubaca Simposium Nasional Akuntansi XIII Purwokerto.Ya,13 Oktober.Saat itulah semuanya berawal.Hari itu adalah hari dimana mimpi menjadi keniscayaan,bagaimana mungkin kampus ini mampu menghadirkan event sebesar itu.Terpikir pun tidak.Namun tak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Simposium Nasional Akuntansi adalah event yang digelar oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Kompartement pendidikan,yang berupaya untuk menggalakan dan memberikan info hangat seputar dunia akuntansi ke para calon akuntan-mereka yang duduk di perguruan tinggi.Kampus ini jelas bukan sebuah tujuan yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya.SNA selalu digelar di kampus yang bila orang mendengarnya akan mendesah nafas dan membayangkan betapa hebatnya.SNA selalu digelar di kutub-kutub pendidikan yang selalu melahirkan para pemikir dan cendikiawan yang malang melintang di Nusantara.Sementara disini,kami bahkan kadang masih gamang atas pencatatan barang dagangan apakah menggunakan FIFO ataupun LIFO.SNA merupakan ajang pamer infrastruktur dan pencapain para civitas akademika di dalamnya.Tapi lihatlah kita,berkubang dalam keringat dan panas tanpa pendingin ruangan.Tapi semua itu hanya factor yang tak sepenuhnya diperhitungkan.
Pada saat SNA XII Palembang,para dosen dengan segala upaya memberikan presentasi untuk membujuk tim pelaksana agar dapat melaksanakan SNA di Purwokerto.Waktu itu public lebih tertarik pada Universitas………….yang menjanjikan Bunaken sebagai wisata refreshing di dalam paket SNAnya.Tapi mereka,para dosen dengan tegas dan kepala tegak mengikrarkan,,,ya kami punya Nusakambangan,tempat para penjahat kelas kakap dan koruptor menghabiskan sisa hidupnya.Itulah mereka kawan dengan percaya diri mampu keluar dari hal yang biasa dan membosankan.Mereka yang berpikir out of the box lah yang juara.Tapi bukan melulu wisata yang dibacarakan,Purwokerto adalah kota yang sedang berkembang ke arah edukatif,dan banyak menarik siswa dari luar daerah seperti Jawa Barat dan Jakarta.Inilah calon kutub perubahan di daerah Banyumas.
Seminggu setelah palu diketuk dan diputuskan SNA akan digelar di Purwokerto,dibentuklah panitia gabungan antara dosen dan mahasiswa.Banyak masalah yang harus diselesaikan.Dana,akomodasi dan banyak hal yang harus segera dipecahkan.Secara geografis,Purwokerto adalah daerah yang tanggung tanpa bandara.Dan tebaklah apa yang harus dilakukan mereka-para orang penting- menghabiskan 3 atau 5 jam di alat transportasi yang tak pernah mereka pakai selepas bandara??Maka digodoklah berbagai konsep dan upaya untuk meredam kecapaian para calon peserta SNA selama perjalanan.Upaya itu disebut keramahan.Para Lision Officer(LO) harus berupaya meregangkan kedua bibir mereka selebar dan seramah mungkin.Konsep ini mungkin kuno namun itu bekerja dengan baik.Maka dapat ditarik kesimpulan,jika anda capek,letih,lesu maka tersenyumlah.
Proses terus berlangsung,konsep terus digodok dan permasalah ditekan hingga sama sekali tak ada.Maka hari itu pun dating,13 Oktober.Matahari menyingsing di horizon,membias oranye berhadapan langsung dengan dominan biru muda.Bandara Adi Sucipto dan smua bandara di Pulau Jawa dipenuhi makhluk penjemput berpakaian batik biru,Itulah mereka Akomodasi dan Transportasi.Sementara itu ratusan kilometer di kampus kita telah banyak kerumunan yang mencoba menegakan baliho sepanjang jalan dan kami, mencoba mempersiapkan setiap detail dari apa-apa yang akan dibutuhkan.Semuanya terlihat bersemngat,menggarap proceeding,merapikan tas-tas merchandise,menjinjing peraltan untuk pameran,merapikan make up bagi tim penerima tamu,koordinasi dengan satpam untuk jaminan keamanan,menghubungi Bawor yang sedari tadi belum muncul.Itulah hasrat yang ditunjukan dalam dinamisasi kampus ini,semuanya bergerak,kedepan,melangkah dengan pasti dan mempersiapkan yang terbaik.Sekecil apapun,apakah karena kamu hanya tukang jinjing,semuanya antusias menyambut event yang mungkin takkkan pernah datang kedua kalinya ke kampus ini.
Para peserta mulai datang dan menghambur keluar.Kami dari semua elemen divisi telah menyiapkan jurus andalan kami.Maka setiap mereka yang berbaju batik hijau akan menghambar segaris senyum di bawah hidung mereka.Tim Perkap membawa barang pun dengan senyum,mungkin sebenarnya senyum getir karena bawaannya memang berat.Para peserta pun menanyakan segala hal tentang kampus,gedung apalah,dibangun kapanlah,buat apalah dan kami senantiasa mengandalkan jurus andalan tadi senyum,bingung tentunya.Namun apa yang disebut keterbatasan itu dianggap oleh para pesohor dan pendekar akuntansi itulah yang dimaksud dengan kenikmatan perjalanan akademis.
Simposium Nasional…event sebesar itu,mungkin takkan pernah terulang lagi di kampus ini.
Tragedi Kehidupan
Mentari masih bersembunyi di peraduan.Horison pagi masih mengambang di selayang batas kehidupan.Satu per satu embun masih menempel lekat di dedaunan hijau merona.Tapi semua kehiningan terpecah hiruk pikuk di pasar.Para kuli kasar membopong muatan yang tiga kali lebih berat dari bobot mereka.Para cukong dengan perut buncit dan mata nanar seakan-akan mengintai dan mengkritisi tiap langkah kuli mereka.Ini paradigma pagi di 20 meter sebelah rumahku.Ada sebuah kesenjangan antara pagi dan keramaian pasar duniawi itu.Saat mentari masih terlelap,berlusin peluh membasahi seluruh tubuh kuli mereka.Aku sedang bergegas membeli lauk hari itu,melihat mereka bekerja..sungguh ironi besar di negera besar ini.Bagaimna mungkin negara yang lebih mirip dipanggil sebagai surga ini memberikan kehidupan yang kasar dan rimba kepada mereka.Negeri yang kedaulatannya diperebutkan banyak kepentingan bahkan tak bisa menjamin segelintir orang ini.Benar-benar sebuah ironi.
Di warung gudeg ini yang aku dengar hanya jutaan keluh kesah tentang dunia.Harga sembako yang melambung tinggi,pendidikan yang mahal dan stagnasi kualitas kehidupan.Itulah posisi kita kawan,diantara himpitan keluh kesah dan pesimisme.
Aku masih melamun sebelum tangan besar itu menepuk bahuku."Assalamualaikum mas Angga"serunya seraya menjabat tanganku.Eh..ak terkesiap dan mencoba mengingat-ingat nama teman-teman semasa sekolah dulu,aku tatap dalam-dalam postur dan mukanya.Muka itu sudah lebih tua dari umurnya dengan banyak lekukan didahinya,terlihat segaris kumis menghiasi rona mukanya.Dan dengan postur yang tinggi besar.Aku masih berpikir dan mencoba menemukan nama.Aku tatap lagi matanya.Aih..mata ini,mata yang dulu aku kenal dengan lekat,mata yang menggariskan optimisme tanpa padam,mata elang yang berputar-putar mencari jawaban saat pelajaran matematika,dan mata yang memincing memandang remeh waktu aku cuma bisa rangking 3.Sedetik kemudian aku jawab "Waalaikum salam,Mas Gilar".
Gilar temanku semasa SD dulu,masih lekat ingatanku sebelum dia memutuskan untuk hijrah ke luar pulau.Rupanya dia kembali setelah tanah transmigrasi milik ayahnya kehilangan otoritas sesaat rezim Soeharto turun.Dia banyak menceritakan tentang masa-masa yang dilaluinya.Ada yang berbeda dengan postur temanku ini.Sekarang dia tinggi besar dan amat berotot.Sebelum aku menanyakan sesuatu,dia menyambar pertanyaan terlebih dahulu "Eii..bukannya golonganmu itu yang disebut agen perubahan kawan?"."Iya"jawabku singkat."Lalu kenapa aku dan kaumku masih berkubang di posisi ini kawan??ya pasti kau tahu aku lah..orang yang tak terkalahkan bahkan olehmu"kelakar dia sambil memincingkan mata yang aku kenal itu.Aku tak banyak berbicara,dia terus membombardir dengan semua obrolannya.
"Kawan??Tahukah kau apa tragedi terbesar dalam hidup manusia??tanya dia lagi.
"Apa itu ??"
"Saat mereka berjalan keluar dari lingkaran pendidikan dan mengandalkan kemampuannya,berharap bisa mengalahkan dunia"
Aku terkesiap dan mengetahui bahwa temanku itu adalah korban putus sekolah.Gilar,potret obsesi saya sewaktu sekolah ini mencoba bangkit setelah tanah harapan yang diagung-agungkan bapaknya dirampas warga sekitar.Dia bekerja sebisa yang dia lakukan dari menjadi kuli kebun,sampai merantau ke Jakarta dan akhirnya kembali ke kota kecil ini.Tiap pagi dia mencoba mengumpulkan nafas dan otot untuk menjujung beras di punggungnya.Tiap pagi ia titipkan tolong pada tukang sapu untuk ikut berbagi memungut beras yang jatuh di perjalanan junjungannya.Di tiap perkataan yang dia katakan,terselip rasa bersalah yang menggunung,rasa malu yang berton-ton mencertikan pahit getir kehidupannya kepada orang selalu dikalahkannya dulu.Gilar keluar dari lingkaran pendidikan dan berjanji menghidupi ketiga adiknya dan ibunya seorang.Mencoba menantang congkaknya dunia,terkepal tangannya meninju batu karang,berharap pecah berkeping-keping.
Gilar-obsesi ideal waktu aku anak SD-pintar,cerdas,sanjungan tiap guru dan jujugan lomba cerdas cermat.Aku tak bisa bayangkan bagaimana hari itu berjalan-saat Gilar putuskan untuk keluar dari zona kebanggannya.
"Tahukah kau teman,saat hari itu tiba,aku berharap itu bisa aku rubah"
ucapan yang menggariskan betapa melankolisnya hari keputusan itu.Saat mereka memutuskan tidak pada pendidikan,maka ibu pertiwi menangis sesenggukan.Pelupuk matanya basah kehilangan anak kebanggan negeri.Kehilangan alat peubah nasib dan bangsa.Aku memang tidak menggariskan bahwa yang berpendidikan yang sukses,tapi banyak jutaan contoh yang menunjukan bahwa pendidikan adalah pintu gerbang perubahan,tempat dimana harapan bersandar tinggi.Detik itu aku bersyukur dan akan memeluk erat pendidikan ini.Dan akan aku perjuangkan sampai harapan itu tercapai dan runtutan doa ibuku terkabul.
Di warung gudeg ini yang aku dengar hanya jutaan keluh kesah tentang dunia.Harga sembako yang melambung tinggi,pendidikan yang mahal dan stagnasi kualitas kehidupan.Itulah posisi kita kawan,diantara himpitan keluh kesah dan pesimisme.
Aku masih melamun sebelum tangan besar itu menepuk bahuku."Assalamualaikum mas Angga"serunya seraya menjabat tanganku.Eh..ak terkesiap dan mencoba mengingat-ingat nama teman-teman semasa sekolah dulu,aku tatap dalam-dalam postur dan mukanya.Muka itu sudah lebih tua dari umurnya dengan banyak lekukan didahinya,terlihat segaris kumis menghiasi rona mukanya.Dan dengan postur yang tinggi besar.Aku masih berpikir dan mencoba menemukan nama.Aku tatap lagi matanya.Aih..mata ini,mata yang dulu aku kenal dengan lekat,mata yang menggariskan optimisme tanpa padam,mata elang yang berputar-putar mencari jawaban saat pelajaran matematika,dan mata yang memincing memandang remeh waktu aku cuma bisa rangking 3.Sedetik kemudian aku jawab "Waalaikum salam,Mas Gilar".
Gilar temanku semasa SD dulu,masih lekat ingatanku sebelum dia memutuskan untuk hijrah ke luar pulau.Rupanya dia kembali setelah tanah transmigrasi milik ayahnya kehilangan otoritas sesaat rezim Soeharto turun.Dia banyak menceritakan tentang masa-masa yang dilaluinya.Ada yang berbeda dengan postur temanku ini.Sekarang dia tinggi besar dan amat berotot.Sebelum aku menanyakan sesuatu,dia menyambar pertanyaan terlebih dahulu "Eii..bukannya golonganmu itu yang disebut agen perubahan kawan?"."Iya"jawabku singkat."Lalu kenapa aku dan kaumku masih berkubang di posisi ini kawan??ya pasti kau tahu aku lah..orang yang tak terkalahkan bahkan olehmu"kelakar dia sambil memincingkan mata yang aku kenal itu.Aku tak banyak berbicara,dia terus membombardir dengan semua obrolannya.
"Kawan??Tahukah kau apa tragedi terbesar dalam hidup manusia??tanya dia lagi.
"Apa itu ??"
"Saat mereka berjalan keluar dari lingkaran pendidikan dan mengandalkan kemampuannya,berharap bisa mengalahkan dunia"
Aku terkesiap dan mengetahui bahwa temanku itu adalah korban putus sekolah.Gilar,potret obsesi saya sewaktu sekolah ini mencoba bangkit setelah tanah harapan yang diagung-agungkan bapaknya dirampas warga sekitar.Dia bekerja sebisa yang dia lakukan dari menjadi kuli kebun,sampai merantau ke Jakarta dan akhirnya kembali ke kota kecil ini.Tiap pagi dia mencoba mengumpulkan nafas dan otot untuk menjujung beras di punggungnya.Tiap pagi ia titipkan tolong pada tukang sapu untuk ikut berbagi memungut beras yang jatuh di perjalanan junjungannya.Di tiap perkataan yang dia katakan,terselip rasa bersalah yang menggunung,rasa malu yang berton-ton mencertikan pahit getir kehidupannya kepada orang selalu dikalahkannya dulu.Gilar keluar dari lingkaran pendidikan dan berjanji menghidupi ketiga adiknya dan ibunya seorang.Mencoba menantang congkaknya dunia,terkepal tangannya meninju batu karang,berharap pecah berkeping-keping.
Gilar-obsesi ideal waktu aku anak SD-pintar,cerdas,sanjungan tiap guru dan jujugan lomba cerdas cermat.Aku tak bisa bayangkan bagaimana hari itu berjalan-saat Gilar putuskan untuk keluar dari zona kebanggannya.
"Tahukah kau teman,saat hari itu tiba,aku berharap itu bisa aku rubah"
ucapan yang menggariskan betapa melankolisnya hari keputusan itu.Saat mereka memutuskan tidak pada pendidikan,maka ibu pertiwi menangis sesenggukan.Pelupuk matanya basah kehilangan anak kebanggan negeri.Kehilangan alat peubah nasib dan bangsa.Aku memang tidak menggariskan bahwa yang berpendidikan yang sukses,tapi banyak jutaan contoh yang menunjukan bahwa pendidikan adalah pintu gerbang perubahan,tempat dimana harapan bersandar tinggi.Detik itu aku bersyukur dan akan memeluk erat pendidikan ini.Dan akan aku perjuangkan sampai harapan itu tercapai dan runtutan doa ibuku terkabul.
Para pembudak harta
Hari ini aku bangun jam setengah 5.Aku bangun saat subuh berkumandang di tiang-tiang masjid,saat dingin mencapai titik puncak.Aku bangun tentu bukan kemauanku,kedua orang tua sepertinya mengerahkan segala cara untuk membuatku bangun.Banyak hal yang aku pelajari di Subuh.
Rumahku tak jauh dari pasar.Rumahku hanya terpisah dari jalan raya dengan pasar,hanya diperlukan 30 detik untuk sampai di gerbangnya.Aku besar dan merasakan semangat tak jauh dari Pasar Sokaraja.Tempat itu merupakan denyut nadi pertama yang terbangun saat pagi menjemput bagi kota kecilku.Tempat itu mulai menggeliat dari sepertiga malam.Pasar merupakan sandaran harapan dimana tempat tersebut memberikan garansi atas kehidupanmu.Itulah mantra yang ditiupkan para setan penghuninya.Maka saat jam mulai bergerak ke angka tiga atau empat pagi,para penjual sayur,buah,dan banyak rupa-rupa bergerak beriringan dari rumah mereka.Aku dengar kebanyakan dari mereka berasal dari bukit-bukit terpencil di Suro atau Srowot dan memerlukan perjalan sekitar 1 jam yang paling dekat dan 2 jam untuk perjalanan yang lebih berliku.Maka iring-iringan itu disusupi semangat kesurupan duniawi,mereka berasal dari desa terpencil dan telah terbutakan atas magis pasar.Terbangun mereka di sepertiga malam untuk mulai memberesi dagangannya,saat Subuh mengudara mereka bergerak ke tempat menjanjikan itu.Sungguh ironi seperti ini yang aku lihat hampir setiap pagi.
Aku bukanlah ustadz atau anak pesantren,setidaknya talik ulur antara dunia dan akhirat sangat kentara disekitarku dan membuat nuraniku berkata .Aku bukanlah pemuda yang cukup cakap dalam beriman dan istiqomah di dalamnya.Mereka para pembudak harta berpikir secara rasional tentang pemenuhan kebutuhan meraka dan dengan sadar mengeringkan kepercayaan atas religi mereka.Urusan perut mereka prioritaskan di urutan tertinggi kebutuhannya.Hal-hal yang tidak berkaitan dengan kebutuhan primer seharusnya diminimalisir atau kalau perlu dihilangkan,itulah agenda harian mereka.Detik ini aku berpikir bagaimana pasar bisa begitu bengis dan mengikis sisi humanis manusia yang fitroh,suci.
Itu secuil kisah untuk mereka yang membudakan diri kepada hal paling rasional di dunia : HARTA.Untuk kelas yang lebih elite,bahkan golongan ini tak jauh-jauh dari area pasar.Mereka punya rumah-rumah yang selalu dibuat megah tiap tahunnya.Saat panggilan subuh memancar,mereka merapikan jualan menjanjikannya,snack atau makanan-makanan kecil atau apapun jenis jualan mereka.Level enterprenership mereka tak perlu diragukan,merintis dari nol,merangkak dan guling dalam usaha tersebut bahkan mungkin puasa agar tidak banyak profit yang hilang untuk urusan makan.Dagangan mereka bertumpuk tinggi di rumahnya dan memberikan julukan baru : juragan.Bahkan beberapa diantaranya rela meninggalkan bilik bini mereka dan tidur bersama dagangannya.”Inilah hidup yang keras,takkan ada yang bisa melawan kehidupan selain dengan tanganmu sendiri,takkan ada orang besar lahir dari uluran tangan orang lain” Itulah kalimat motivasi yang selalu terpancar dimulutnya.Memang banyak hal yang rasional yang sangat mudah diproses oleh otak dan menghasilkan tindakan sesuai rasio.Namun adakah sedikit space untuk kalbu mereka.Untuk entitas yang tiada pernah dusta.Adakah mereka bergetar saat adzan memanggil dan beberapa orang tergopoh-gopoh menjemputnya?Adakah tangis batin ketika perilaku mereka terekam baik dibenak anak-anak mereka dan menciptakan alam bawah sadar ?
Pasar adalah tempat bertemunya pembeli dan penjual,tempat dimana penawaran dan permintaan talik menarik menciptakan keseimbangan.Itu ilmu yang aku pelajari selama ini.Tapi buatku pasar hanyalah seonggok tempat kumuh pengikis humanisme manusia dalam religi.Entahlah.
Rumahku tak jauh dari pasar.Rumahku hanya terpisah dari jalan raya dengan pasar,hanya diperlukan 30 detik untuk sampai di gerbangnya.Aku besar dan merasakan semangat tak jauh dari Pasar Sokaraja.Tempat itu merupakan denyut nadi pertama yang terbangun saat pagi menjemput bagi kota kecilku.Tempat itu mulai menggeliat dari sepertiga malam.Pasar merupakan sandaran harapan dimana tempat tersebut memberikan garansi atas kehidupanmu.Itulah mantra yang ditiupkan para setan penghuninya.Maka saat jam mulai bergerak ke angka tiga atau empat pagi,para penjual sayur,buah,dan banyak rupa-rupa bergerak beriringan dari rumah mereka.Aku dengar kebanyakan dari mereka berasal dari bukit-bukit terpencil di Suro atau Srowot dan memerlukan perjalan sekitar 1 jam yang paling dekat dan 2 jam untuk perjalanan yang lebih berliku.Maka iring-iringan itu disusupi semangat kesurupan duniawi,mereka berasal dari desa terpencil dan telah terbutakan atas magis pasar.Terbangun mereka di sepertiga malam untuk mulai memberesi dagangannya,saat Subuh mengudara mereka bergerak ke tempat menjanjikan itu.Sungguh ironi seperti ini yang aku lihat hampir setiap pagi.
Aku bukanlah ustadz atau anak pesantren,setidaknya talik ulur antara dunia dan akhirat sangat kentara disekitarku dan membuat nuraniku berkata .Aku bukanlah pemuda yang cukup cakap dalam beriman dan istiqomah di dalamnya.Mereka para pembudak harta berpikir secara rasional tentang pemenuhan kebutuhan meraka dan dengan sadar mengeringkan kepercayaan atas religi mereka.Urusan perut mereka prioritaskan di urutan tertinggi kebutuhannya.Hal-hal yang tidak berkaitan dengan kebutuhan primer seharusnya diminimalisir atau kalau perlu dihilangkan,itulah agenda harian mereka.Detik ini aku berpikir bagaimana pasar bisa begitu bengis dan mengikis sisi humanis manusia yang fitroh,suci.
Itu secuil kisah untuk mereka yang membudakan diri kepada hal paling rasional di dunia : HARTA.Untuk kelas yang lebih elite,bahkan golongan ini tak jauh-jauh dari area pasar.Mereka punya rumah-rumah yang selalu dibuat megah tiap tahunnya.Saat panggilan subuh memancar,mereka merapikan jualan menjanjikannya,snack atau makanan-makanan kecil atau apapun jenis jualan mereka.Level enterprenership mereka tak perlu diragukan,merintis dari nol,merangkak dan guling dalam usaha tersebut bahkan mungkin puasa agar tidak banyak profit yang hilang untuk urusan makan.Dagangan mereka bertumpuk tinggi di rumahnya dan memberikan julukan baru : juragan.Bahkan beberapa diantaranya rela meninggalkan bilik bini mereka dan tidur bersama dagangannya.”Inilah hidup yang keras,takkan ada yang bisa melawan kehidupan selain dengan tanganmu sendiri,takkan ada orang besar lahir dari uluran tangan orang lain” Itulah kalimat motivasi yang selalu terpancar dimulutnya.Memang banyak hal yang rasional yang sangat mudah diproses oleh otak dan menghasilkan tindakan sesuai rasio.Namun adakah sedikit space untuk kalbu mereka.Untuk entitas yang tiada pernah dusta.Adakah mereka bergetar saat adzan memanggil dan beberapa orang tergopoh-gopoh menjemputnya?Adakah tangis batin ketika perilaku mereka terekam baik dibenak anak-anak mereka dan menciptakan alam bawah sadar ?
Pasar adalah tempat bertemunya pembeli dan penjual,tempat dimana penawaran dan permintaan talik menarik menciptakan keseimbangan.Itu ilmu yang aku pelajari selama ini.Tapi buatku pasar hanyalah seonggok tempat kumuh pengikis humanisme manusia dalam religi.Entahlah.
Serang- menemukan kehangatan
Pagi ini,matahari menyusup di sela-sela pagi.Kabut tipis meresap dalam kaki-kaki bukit dan membaur jatuh dalam dedaunan,lekat didalmnya.Tak terlalu cerah pagi ini,mendung menyusup di sekitar scenic mengesankan ini.Bibit-bibit kehangatan masih tersembunyi di horison pagi.Setitik-titik terlihat semburat semangat mentari menembus kabut membias cahaya oranye menelusup pekatnya kabut ,diikuti kicauan burung geraja menyeruak keluar dari sarang bergerombol dan membentuk formasi V.Pagi ini,aku berada di riuh pertemuan kehangatan dan kedinginan pegunungan Serang,disela-sela orkestrasi pagi Illahi.Lepas dari kebisingian dan semua gegap gempita kota Purwokerto yang menyesakan.
Inilah hidup kawan.Merasakan dingin,menghisap lekat kehangatan warga pegunungan.Pegunungan ini tercipta bagai titik temu dingin dan hangat,kehangatan tercipta dari senyum kuning gigi warganya,terselip jambe nginang di sela mulut mereka.Inilah magis alam,mereka menciptakan kehangatan sendiri bernama keramahan.Membaur sekenanya,menyapa seakan keluarga mereka sendiri dan bercanda dengan amat sangat elegan.Mereka jauh dari keramaian,jauh dari rongrongan bengis ego,bebas dari setan bernama materialisme.Dari pegunungan ini mereka lahir dan menangkap scenic ini tiap hari,seakan-akan scenic pagi mengajarkan mereka tentang alam yang dengan tangan terbuka memeluk rumah-rumah mereka,menelusup di area paling hangat –hati-.
Pembubaran kepengurusan HMJA 2010 tampaknya memang sengaja terserak di sudut pegunungan ini.Untuk menemukan kembali arti sebuah keluarga.
Kisah Almamater yang Lain
Hari Kamis kemarin aku mendapat kunjungan dari teman SMPku.Kabarnya dia ingin bermain dan kembali bercerita tentang masa yang lampau.Diapun berkunjung kerumah dan membawa teman yang lain.Banyak kami bercerita tentang hal-hal getir di masa lampau,ketika kita masih terlampau kecil untuk melihat dunia dan ya..masih sangat remaja untuk menelaahnya.Aku pun teringat dulu dia adalah orang dengan IQ tertinggi di kelasku.Dia memang cerdas,bahkan itu terlihat dari caranya memandang berbeda atas soal matematika yang kami bahas.Dia bukan seperti kami,penjiplak,dia lebih suka menelaah menganalisis dan memberikan kesimpulan bahwa apa yang kami lakukan dalam soal tersebut terlalu bertele-tele.Dia memang berbeda.
Di sela lamunanku terdengar curhatan dia tentang hidup yang semakin keras,buas dan berasaskan hukum rimba.Semua orang tahu kapabilitasnya sebagai orang genius,tak ada yang meragukannya.Dia bercerita tentang penyakitnya-buta warna-telah banyak menutup peluangnya untuk bisa bekerja.Tes buta warna Ishihara yang menyelipkan nomer di tiap lingkaran kecil yang warna warni,dia tidak bisa membedakannya.Aku kembali skeptis atas rekruitment model itu,apakah seorang jenius harus benar-benar tertahan oleh keformalan belaka.Memang kadang ada pekerjaan yang mengharuskan mengetahi warna tapi secara peluang perusahaan tersebut kehilangan suatu hal yang langka -sumber daya manusia handal.Dia tidak melanjutkan perguruan tinggi,hanya sampai ke sekolah kejuruan (STM dibaca).Yang akhir-akhir ini marak dipropagandakan SMK-Bisa !!!.Hah..kenapa degala hal di negeri ini sangat tidak adil,baru aku tahu bahwa hanya negeri ini yang merelakan warga negaranya yang sebenarnya mampu secara kapabilitas dan pemerintah membelokan hal itu dengan memberikan tempat prestisius di zaman global : BURUH , PEKERJA LAPANGAN !!
Sementara itu disudut lain kampusku,aku banyak melihat orang yang sangat perlu dikasihani.Mereka terlalu bekerja keras dengan otaknya untuk sekedar memahami,untuk sekedar mencari tanda tangan dosen pembimbing,untuk sekedar tahu cara membaca jadwal mata kuliah.Mereka tak seharusnya disini-menara gading pendidikan-mereka orang-orang yang punya dan ya menurut saya hanya menurunkan keunggulan kompetitif yang dipunyai kampus ini.Dandanan yang terlihat tidak seharusnya,foto-foto terbaru yang pada dasarnya sama,make up...sebagian ada yang tipe seperti ini.Dan aku melihat itu pada temanku yang ini.Keledai dungu yang mendarat di almamater nomer satu Nusantara.Teknik Sipil..boy...bayangkan itu.Dia bercerita tentang bagaimana Yogyakarta dengan kehidupan glamour,bahasa yang wetan dan Njowoni.Entahlah mungkin aku yang tak terlampau mengenalnya atau hanya terjebak pada penampilan luarnya yang ya..,memprihatinkan.Tapi bukan dia yang aku bahas,tentang proses masuk mahasiswa kodekteran di almamaternya ya nilainya funtastis,ya telah menutup pintu-pintu harapan kaum papa,yang telah menjadi Dajjal atas panjatan doa malam mereka,yang telah menjadi kutukan bagi orang tua yang tak berpunya.Dua ratus lima puluh juta kawan...angka yang hanya mampu ditembus cukong-cukong ekspor impor,pengusaha nakal dan koruptor ulung.Itu hanya biaya masuk dan seratus juta untuk tiap semester.Silakan ucapakan selamat tinggal untuk pintu gerbang perubahan itu...untuk jaket biru kebesaran itu..untuk kebangaan seantero kampung.
Dari kedua temanku aku belajar tentang tenggang rasa,tentang kelapangan dada atas jarak yang luar biasa lebar dinatara kita semua.Si SMK besar dan berkembang di Universitas terbesar di dunia -Hard University (Universitas Kehidupan).Segala partikel dan molekul pintar di otaknya tak mampu menembus tembok bernama takdir.Dia belajar atas pahit getir kehidupan,menganalisa dengan hal paling utama -hatinya- dan menarik kesimpulan dengan nuraninya.Di tempat itu tak ada penilaian atas semester ini tak ada gelar summa cum laude atau sekedar cum laude,buat dia sekedar lolos dari fase ini adalah hal terbaik baginya.Fase itu bernama pengangguran.Masalah kronis negeri ini dan menjadi kanker bagi para pengidapnya,semua orang akan merujuki sebagai pemalas,tidak produktif dan banyak hal negatif melekat didiri orang tersebut bagai tatoo.Pesanku kawan : Jangan terlalu berharap menggantungkan citamu pada penguasa,terlalu rawan dakit hati.
Dan temanku,si Orang dari almamater wahid Nusantara telah memberikan perspektif baru atas sudut-sudut lain kehidupan kampus ini.Aku kembali merenung bagaimana negeri ini bisa kuat jika para kaum peubah nasib (mahasiswa,red) sudah terjangkiti virus kekayaan.Ya dengan kibasan uangnya mereka bisa berbuat semaunya.Mantra paling mujarab di negeri ini adalah rupiah,itu juga yang merasuki para birokrat almamater nomer wahid itu.Padahal mereka jauh-jauh mendapat gelar Professor dari luan Nusantara,apakah ada hal yang rasional tentang masuknya para kerbau uang ini??Entahlah..aku hidup di zaman yang terlanjur bengis atas kaum papa.Semoga ada pencerahan pagi ini.
Globalisasi : Penggoblogan Sedunia !!!
Hari ini aku masih berkutat dengal hal paling monumental di millenium ini.Sebuah konsep gigantis penggabungan semua negara-negara dalam bingkai tanpa batas,konsep tentang hilangnya tapal batas wilayah negara dan mentahbihkan satu hal : PERSAINGAN !!!
Aku tak pernah habis pikir.Ketika konsep itu mengemuka dan negara-negara di tiap simpul regional mulai membuka kekuatan ekonomi baru.Eropa dengan mata uang Euronya,Indonesia melakukan CAFTA dengan China.Apakah ini sebuah solusi untuk tatanan ekonomi yang lebih baik??sebuah tatanan ekonomi ideal yang memberikan keleluasaan semua elemen masyarakat di dunia untuk menikmati menara gading bernama kesejahteraan.Apakah hal itu dapat terlihat hingga detik ini???
Konsep Globalisasi adalah produk kolonialisme jenis baru,sebuah agenda mengusasai suatu teritory dengan menguasai sektor paling krusialnya yaitu perekonomian.Globalisasi memberikan gap atau jarak yang semakin melebar antara sang pemilik modal dan kaum buruh.Semakin jauh antara negara pengglobal dan negara terglobal.Bayangkan milyaran US dolar meluncur ke kantong-kantong perekonomian negara dunia ketiga.Uang itu menghasilkan pabrik-pabrik baru dengan peralatan yang memukau.Atas nama pembukaan lapangan kerja,para penguasa membukakakan lebar-lebar pintu investasi mereka.Mereka telah MERELAKAN PENJAJAHAN itu BERLANGSUNG !!!
Atas nama investasi,para penguasa daerah-daerah pun lantas latah dan membuka semua jalur permodalan.Sebuah ironi negara besar dengan sumber daya alam melimpah dan SDM membludak,harus menengadahkan tangan kepada negara super power.Tidakkah mereka sadar kita disini adalah hasil ekspansi produk mereka,dengan tenaga kerja murah kita,biaya dapat ditekan sampai amat sangat minimal.Bagaimana dengan jenjang karir para buruh??SELALU MENJADI BURUH !!!
Aku bukan orang yang skeptis atas "niat baik" mereka.Aku cuma menyayangkan konsep gigantis ini disambut euforia penjajah di seluruh pelosok bumi.Agenda globalisasi hanya membuat Nusantara terglobal dan hilang kedaulatan ekonomi,hukum,dsb.Kita tak butuh modal mereka.Kita lakukan dengan tangan kita sendiri,dengan kaki kita sendiri berdiri tegak melawan Goliath.Perlawanan ekonomi Globalisasi adalah Entreuprenership.Konsep pengembalian martabat bangsa buruh ini.
Aku tak pernah habis pikir.Ketika konsep itu mengemuka dan negara-negara di tiap simpul regional mulai membuka kekuatan ekonomi baru.Eropa dengan mata uang Euronya,Indonesia melakukan CAFTA dengan China.Apakah ini sebuah solusi untuk tatanan ekonomi yang lebih baik??sebuah tatanan ekonomi ideal yang memberikan keleluasaan semua elemen masyarakat di dunia untuk menikmati menara gading bernama kesejahteraan.Apakah hal itu dapat terlihat hingga detik ini???
Konsep Globalisasi adalah produk kolonialisme jenis baru,sebuah agenda mengusasai suatu teritory dengan menguasai sektor paling krusialnya yaitu perekonomian.Globalisasi memberikan gap atau jarak yang semakin melebar antara sang pemilik modal dan kaum buruh.Semakin jauh antara negara pengglobal dan negara terglobal.Bayangkan milyaran US dolar meluncur ke kantong-kantong perekonomian negara dunia ketiga.Uang itu menghasilkan pabrik-pabrik baru dengan peralatan yang memukau.Atas nama pembukaan lapangan kerja,para penguasa membukakakan lebar-lebar pintu investasi mereka.Mereka telah MERELAKAN PENJAJAHAN itu BERLANGSUNG !!!
Atas nama investasi,para penguasa daerah-daerah pun lantas latah dan membuka semua jalur permodalan.Sebuah ironi negara besar dengan sumber daya alam melimpah dan SDM membludak,harus menengadahkan tangan kepada negara super power.Tidakkah mereka sadar kita disini adalah hasil ekspansi produk mereka,dengan tenaga kerja murah kita,biaya dapat ditekan sampai amat sangat minimal.Bagaimana dengan jenjang karir para buruh??SELALU MENJADI BURUH !!!
Aku bukan orang yang skeptis atas "niat baik" mereka.Aku cuma menyayangkan konsep gigantis ini disambut euforia penjajah di seluruh pelosok bumi.Agenda globalisasi hanya membuat Nusantara terglobal dan hilang kedaulatan ekonomi,hukum,dsb.Kita tak butuh modal mereka.Kita lakukan dengan tangan kita sendiri,dengan kaki kita sendiri berdiri tegak melawan Goliath.Perlawanan ekonomi Globalisasi adalah Entreuprenership.Konsep pengembalian martabat bangsa buruh ini.
Hari ini..sejarah baru tercipta
Hari ini,12 Januari 2011.Matahari masih bersembunyi di peraduannya.Awan agak menghitam disana-sini menyiratkan kemuraman sepertinya.Agak kehilangan keniscayaan seperti sang Mentari untuk mengawali hari ini.Tapi tidak dengan aku dan para teman Topmen dan Kabid tentunya. Riefki Paketua,Anggud-Pasek-,Denis-Pasat-,Meta,Imeng,Ita,,Intan dan saya sendiri.Kami Pengurus HMJA 2011 telah menemukan hal magis -semangat kekeluargaan-sesuatu yang mendasari setiap gerak kami selanjutnya.Sebuah onggokan puzzle terakhir yang akan melengkapi sebuah keluarga.
Kemarin,kami merumuskan hal yang agak gila dan srenk.Sesuatu yang berada diluar batas kewajaran..Ya bisa disebut sebuah theme song.Bukan hal yang biasa untuk kami mencoba membongkar pasang lagu-lagu yang sedang ngehits dan memasukan lirik yang akan memberikan semangat kepada pengurus yang lain.Untungnya saya beruntung mempunyai teman-teman Kabid dan Topmen yang bisa dikategorikan sebagai Extraordinary Person atau yang lebih fenomenal bisa lah mereka disebut Extra Terestrial Humanoid,hehe just kidding.Orang-orang yang berfikir out of box dan berani berteriak ya kita ....Beda !!!...Untuk hal yang lebih baik.
Dan terpilihlah lagu yang familiar yang meraih banyak penghargaan sana-sini.Laskar Pelangi-lagu garapan band Nidji yang bergenre etnik dan menyemburatkan semangat-ini terpilih dengan gampang tak banyak diplomasi.Dan para pemikir inti si Imenk,Ita,Rifki,Anggud sangat bersemangat merusak lagu tersebut,hehehe :P.Sementara Meta -Kabid Penalaran dan Keilmuan- dengan segala nalar kritisnya masih memberikan argumen dengan metode-metode penarikan hipotesa antara chi squre..halah apa itu...dan berdoa dalam hati "Ya Tuhan..ampunilah kegilaan teman-temanku..dan selamatkan aku dari godaan mereka yang menyesatkan".Hahahaha.Sayangnya aku tidak terlampau lama dalam proses ini,kebetulan ada desain yang harus diselesaikan dan deadlinenya hari ini.
Sekitar jam setengah lima.Kondisi waktu itu tak pernah secerah itu.Mentari hangat mendampingi sore kita.Membiaskan dominan oranye yang menawan dan bersenandung sebuah kepercayaan atas orang gila di bumi Unsoed.Setelah packing beresin laptop dan save file Corel yang kelar.Aku berjalan menuju area Gedung F-area kita ngumpul tadi.Sayup-sayup terdengar suara-suara abstrak yang sulit untuk dinilai kualitasnya.Suara-suara yang keluar dari goa yang penuh tekanan,dibuat-buat sedimikian rupa,diimprovisasi sana-sini tapi tetep ya gitu abstrak banget !!!!hehehe... Sejenak aku berdiri,memandangi mereka yang bergandengan tangan dan sekuat tenaga berkicau dengan indah-menurut mereka sich.Tapi hal magis terjadi,aku merinding....Wow sangat jarang untuk jenis suara seabstrak ini.Rupanya itu.Hal itu yang membaut bulu kuduku meremang.Sebuah semangat teman,hal paling prestisius yang dimiliki manusia dan yang memberikan motor untuk terus berjalan,berlari dengan terjatuh lalu bangkit..berjalan lagi dan lari sekencang-kencangnya.Itulah semangat para humanoid di depanku ini.
Sedikit bocorannya nie....
Theme Song HMJA 2011
Kita Akuntansi....
Ayo kita bergandengan tangan..
Tebarkan senyummu untuk dunia
Kibarkan Semangat Jiwa...
HMJA....
We are family
Takkan terikat waktu
Rumah kita HMJA
HMJA Kita Semua
Reff :
Berlarilah tuk mengejar citaWe are family never leave you aloneCause always gone be togetherOne love for HMJARumah KitaSelamanya 2x
Semoga theme song ini mampu menyatukan kita semua.Kita terlahir dari rahim yang berbeda,tumbuh dan berkembang dari lingkungan yang amat sangat rupa-rupa.Dan di tempat asing bernama Unjendir eh Unsoed (Universitas Jendral Soedirman).Di tempat sarangnya hedonisme dan keegoisan loe-loe gue-gue.Aku menemukan arti keluarga.Ya...HMJA adalah akuntansi..Akuntansi adalah kita semua...
VIVA HMJA >>>!!!!!!