Popular posts

Anggaisme

Anggaisme adalah sebuah ide pemikiran akan suatu hal sehari-hari menurut pandangan saya yang amat sangat subyektif.Ruang kosong itu menjadi bentukan ekspresi saya ,bentukan itu saya dedikasikan untuk ruang pribadi,untuk mereka yang tertulis didalamnya dan obyek yang terpilih.Jadilah subyektif dan temukan dirimu.

Mengenai Saya

Aku terlahir dengan nama Angga Guidanto Hidayatulah.Masih mencari proses menemukan diriku yang sebenarnya dan sangat menginginkan tantangan kehidupan... Akulah pria yang menantang gunung-gunung tantangan.. Yang siap jatuh dalam jurang kegagalan.. Aku ingin merasakan HIDUP !!!!

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Catatanku On Sabtu, 21 Mei 2011


Hari masih pagi.Mentari masih bersembunyi di peraduan, samar-samar sinarnya muncul menembus kegamangan awan. Biru-biru cerah muda membias syahdu diterpa setitik-titik cahaya yang timbul dan tenggelam di pertengahan April. Satu per satu burung keluar, menyambut sentuhan pertama mentari. Berdansa mereka di rekahan titik-titik mentari yang semakin jumawa membumbung di horizon. Seperti juga aku, pagi benar aku siapkan kuda besiku. Sudah sedari pagi aku mandikan dia. Rupanya aku terlalu antusias seperti burung gereja di pagi ini.

Silvie - julukan manis untuk kuda besiku- menembus rongga-rongga pagi, menembus putih suci jejatuhan embun yang dingin dan segar. Aku pun laksana embun, kedinginan setelah semalam bersemayam di dedaunan,,aku semalaman menunggu hangat itu,,menyongsong aku menunggu pagi,walau sekejap mata aku diterjang kehangatan itu tapi setetes kebermaknaan lah hakikatku ada. Pagi ini aku menerjang aspal-aspal kedinginan jalanan Bukateja, masih lengang tak banyak hiruk pikuk peradaban terlihat. Tujuanku ke Banjarnegara, daerah yang pernah aku kunjungi sewaktu masih booming promosi murahan Bonbin Seruling Mas, dan kami -aku dan keluargaku- representasi keluarga berencana yang baru beranjak mapan menjadi sasaran empuk promosi itu. Tapi itu udah sangat lama, waktu aku masih asyik dengan tamagochi sepertinya. Memilih jalur Purbalingga pun sebenarnya jalur yang tidak efisien, karena aku memilih jalur yang memutar. Tapi kabar burung yang mengatakan lewat jalur Banyumas lebih berbahaya karena jalurnya masih remaja, dalam artian jerawatan atau bopeng kanan dan kiri.

Purbalingga pun masih menggeliat waktu aku melintas. Jalur sibuk para pekerja pabrik di jalan arterinya masih belum terlihat. Aku seperti tersedot ke mesin waktu, saat masih digdaya dengan putih abu-abu atau putih krem -kebanggaan almamater ganeshaku-. Saat aku masih terlalu muda memandang dunia dan menjamah tiap jengkal Purbalingga. Hawa pagi ini masih sama, saat aku lewat terminal, seperti kulihat bayangku menanti angkutan yang tak jua datang. Saat aku bergegas menghindari jarum jam menunjuk angka tujuh. Bukateja masih laksana kota mati, kota persinggahan antara Banjar dan Purbalingga ini masih lelap dalam tidurnya. Jembatannya yang panjang dan sungai yang sombong membelah kedua daratan itu, landmark kota persinggahan ini.

Banjarnegara masih jauh, belum lagi aku sampai ke Klampok. Akhirnya sampai juga ke Klampok, aku disambut gemerlap pesta demokrasi di Banjarnegara. Muka-muka sok mengayomi menghiasi tiap sudut kota, tipenya hampir sama. Pria setengah baya dengan setelan formal, muka dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan pencitraan yang bersahaja dan yang paling dominan adalah jeans hitam membalut tubuh, setelan itu rupanya belum mampu menyembunyikan perutnya yang secara sembrono menyembul di balutan pencitraan yang dibuat. Taglineku untuk ini : emang perut gak bisa bohong.. :P

Jalanan Banjar masih memanjang. Dataran rendah di kaki Pegunungan Dieng ini terlihat datar. Jalan hanya lurus tanpa banyak pemandangan berarti. Datar seperti kota ini.

Aku pun akhirnya sampai di kostmu. Kumpulan para mahasiswa kebidanan yang berdesakan di bedeng kecil di tengah kota Banjarnegara. Mereka masih muda, seumuranku tapi mempunyai kutukan profesi, yaitu selepas wisuda harus terbiasa dengan panggilan Ibu. Ya, Ibu bidan. Tak seperti biasanya kau sudah siap. Terlihat menawan di mataku yang sedari pagi kelilipan debu jalanan Banjarnegara. Hari ini kami akan berkunjung ke rumah saudaranya di Batur. Tempat dia menghabiskan waktu sewaktu ia masih balita. Dan aku pun mafhum dia terlihat antusias menyambut perjalanan ini. Masa lalu itu layaknya mozaik, tercecer tak jelas di kolong dunia. Maka temukanlah mozaik itu satu per satu agar menjadi penyemangatmu kelak.

( Aku dan kamu laksana embun pagi. Menunggu semalaman menerpa hijau dedaunan, saat mentari merekah dan menggoda atas hangatnya. Hakikat atas kebermaknaan adalah embun itu. Sedetik hilang diterpa mentari yang semalam ia tunggu. Tapi kebermaknaanlah tujuan hidupnya )



* cerita selanjutnya TRIP TO BATUR ======> ON GOING PROJECT

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments