- Home »
- Tragedi Kehidupan
Mentari masih bersembunyi di peraduan.Horison pagi masih mengambang di selayang batas kehidupan.Satu per satu embun masih menempel lekat di dedaunan hijau merona.Tapi semua kehiningan terpecah hiruk pikuk di pasar.Para kuli kasar membopong muatan yang tiga kali lebih berat dari bobot mereka.Para cukong dengan perut buncit dan mata nanar seakan-akan mengintai dan mengkritisi tiap langkah kuli mereka.Ini paradigma pagi di 20 meter sebelah rumahku.Ada sebuah kesenjangan antara pagi dan keramaian pasar duniawi itu.Saat mentari masih terlelap,berlusin peluh membasahi seluruh tubuh kuli mereka.Aku sedang bergegas membeli lauk hari itu,melihat mereka bekerja..sungguh ironi besar di negera besar ini.Bagaimna mungkin negara yang lebih mirip dipanggil sebagai surga ini memberikan kehidupan yang kasar dan rimba kepada mereka.Negeri yang kedaulatannya diperebutkan banyak kepentingan bahkan tak bisa menjamin segelintir orang ini.Benar-benar sebuah ironi.
Di warung gudeg ini yang aku dengar hanya jutaan keluh kesah tentang dunia.Harga sembako yang melambung tinggi,pendidikan yang mahal dan stagnasi kualitas kehidupan.Itulah posisi kita kawan,diantara himpitan keluh kesah dan pesimisme.
Aku masih melamun sebelum tangan besar itu menepuk bahuku."Assalamualaikum mas Angga"serunya seraya menjabat tanganku.Eh..ak terkesiap dan mencoba mengingat-ingat nama teman-teman semasa sekolah dulu,aku tatap dalam-dalam postur dan mukanya.Muka itu sudah lebih tua dari umurnya dengan banyak lekukan didahinya,terlihat segaris kumis menghiasi rona mukanya.Dan dengan postur yang tinggi besar.Aku masih berpikir dan mencoba menemukan nama.Aku tatap lagi matanya.Aih..mata ini,mata yang dulu aku kenal dengan lekat,mata yang menggariskan optimisme tanpa padam,mata elang yang berputar-putar mencari jawaban saat pelajaran matematika,dan mata yang memincing memandang remeh waktu aku cuma bisa rangking 3.Sedetik kemudian aku jawab "Waalaikum salam,Mas Gilar".
Gilar temanku semasa SD dulu,masih lekat ingatanku sebelum dia memutuskan untuk hijrah ke luar pulau.Rupanya dia kembali setelah tanah transmigrasi milik ayahnya kehilangan otoritas sesaat rezim Soeharto turun.Dia banyak menceritakan tentang masa-masa yang dilaluinya.Ada yang berbeda dengan postur temanku ini.Sekarang dia tinggi besar dan amat berotot.Sebelum aku menanyakan sesuatu,dia menyambar pertanyaan terlebih dahulu "Eii..bukannya golonganmu itu yang disebut agen perubahan kawan?"."Iya"jawabku singkat."Lalu kenapa aku dan kaumku masih berkubang di posisi ini kawan??ya pasti kau tahu aku lah..orang yang tak terkalahkan bahkan olehmu"kelakar dia sambil memincingkan mata yang aku kenal itu.Aku tak banyak berbicara,dia terus membombardir dengan semua obrolannya.
"Kawan??Tahukah kau apa tragedi terbesar dalam hidup manusia??tanya dia lagi.
"Apa itu ??"
"Saat mereka berjalan keluar dari lingkaran pendidikan dan mengandalkan kemampuannya,berharap bisa mengalahkan dunia"
Aku terkesiap dan mengetahui bahwa temanku itu adalah korban putus sekolah.Gilar,potret obsesi saya sewaktu sekolah ini mencoba bangkit setelah tanah harapan yang diagung-agungkan bapaknya dirampas warga sekitar.Dia bekerja sebisa yang dia lakukan dari menjadi kuli kebun,sampai merantau ke Jakarta dan akhirnya kembali ke kota kecil ini.Tiap pagi dia mencoba mengumpulkan nafas dan otot untuk menjujung beras di punggungnya.Tiap pagi ia titipkan tolong pada tukang sapu untuk ikut berbagi memungut beras yang jatuh di perjalanan junjungannya.Di tiap perkataan yang dia katakan,terselip rasa bersalah yang menggunung,rasa malu yang berton-ton mencertikan pahit getir kehidupannya kepada orang selalu dikalahkannya dulu.Gilar keluar dari lingkaran pendidikan dan berjanji menghidupi ketiga adiknya dan ibunya seorang.Mencoba menantang congkaknya dunia,terkepal tangannya meninju batu karang,berharap pecah berkeping-keping.
Gilar-obsesi ideal waktu aku anak SD-pintar,cerdas,sanjungan tiap guru dan jujugan lomba cerdas cermat.Aku tak bisa bayangkan bagaimana hari itu berjalan-saat Gilar putuskan untuk keluar dari zona kebanggannya.
"Tahukah kau teman,saat hari itu tiba,aku berharap itu bisa aku rubah"
ucapan yang menggariskan betapa melankolisnya hari keputusan itu.Saat mereka memutuskan tidak pada pendidikan,maka ibu pertiwi menangis sesenggukan.Pelupuk matanya basah kehilangan anak kebanggan negeri.Kehilangan alat peubah nasib dan bangsa.Aku memang tidak menggariskan bahwa yang berpendidikan yang sukses,tapi banyak jutaan contoh yang menunjukan bahwa pendidikan adalah pintu gerbang perubahan,tempat dimana harapan bersandar tinggi.Detik itu aku bersyukur dan akan memeluk erat pendidikan ini.Dan akan aku perjuangkan sampai harapan itu tercapai dan runtutan doa ibuku terkabul.