- Home »
- Akulah pria yang menolak altar suci keilmuan Jogja !!!
Mendung masih menggantung di ufuk.Memberi sebuah kemuraman yang gelap dan mengiris sendi-sendi keceriaan. Titik demi titik air meluncur lepas dari genggaman awan, tanpa ragu menerjang bumi yang tersungkur penuh debu. Laju kereta yang mengaum sedari setengah jam yang lalu berbaur dengan rintik hujan membentuk simfoni antara orkestra alam dan kedigdayaan manusia. Hari itu,sekitar bulan April tahun 2008 aku dan temanku(sebut saja Deni) berguncang menikmati kereotan kereta api ekonomi ke Jogja. Wangi anyir dan pesing adalah hal yang sangat lazim, membaur sekenanya ke lubang-lubang hidung yang telah disetting agar tak peka. Wangi itu semakin menjadi jadi saat berbaur dengan bawaan sayur-sayuran dan bawaan kelas ekonomi penumpangnya. Seakan telah menjadi skenario keanyiran kelas ekonomi, naiklah penghibur kelas ekonomi yang khas, buas, dan yaaaa..cukup menghibur. Mereka adalah orkes dangdut lintas gender, berbadan tegap laksana kuli panggul pasar pagi, membawa snar bass berhias kayu kotak bernada beeemm,,beeeemmm seenaknya. Dan yang fenomenal adalah yel mereka..Itikiwir…sebuah brand tersendiri atas ribuan kali pencarian jati diri dalam karier bermusik mereka. Suasana itu membaur,sekenanya, hujan, amis, dan orkes transjender,..sangat ekonomi,,sangat merakyat dan Indonesia sekali.
Aku dan Deni adalah teman semenjak SMP dan berpisah saat SMA. Kami berdua mempunyai obsesi yang sama – Jogja. Entah mengapa nama kota itu seperti magnet, memberi keterikatan yang amat dalam. Seolah olah setiap mimpi-mimpi besar berpusat di kota itu. Kami mendamba mendapat universitas negeri disana, keluar dari pergaulan Purwokerto yang membosankan , hidup ngekost sambil menikmati Jogja dan lulus dengan predikat cum laude. Skenario sempurna. Sejak sebulan kami berselancar mencari informasi, aku ingin melanjutkan ke ekonomi dan Deni lebih tertarik ke jurusan Kehutanan. Landmark universitas itu telah menghantui mimpi kami setiap malam, bangunannya yang gigantis pertanda prestise tersendiri, altar almamaternya yang gemerlap menjanjikan masa depan cerah gumintang.
Bunyi peron dan cincitan rem kereta menghentak menghentikan perjalanan ini. Ya,Jogja tempat semua altar ilmu bertumpu menjadi satu. Dan kami menginjakan hentakan pertama di kota ini.
Mei 2008
Purwokerto masih tergenang hujan sedari malam. Deni berdiri tegak memandangi jam dinding yang belum bergerak sedetik yang lalu. Menanti jam setengah 7 yang masih 5 menit lagi. Di jam itu , loper koran melempar koran ke rumahnya. Tak pernah dia begitu perhatian atas tiap detik menanti jam 7 sebelumnya. Di lembar-lembar koran tersebut akan ada nama-nama agung siswa siswi terbaik nusantara yang masuk Universitas prestisius itu. Kerja kerasnya selama sebulan berjibaku menghadapi ujian masuk setelah 3 bulan sebelumnya lagi memperdalam dan memprediksi soal-soal di bimbel ternama.
Setengah Tujuh
Mata Deni terbelalak, memeriksa satu per satu baris nama yang terpampang di koran. Dibaca dengan saksama dan memincing mata sampai korneanya berkontraksi sedetail mungkin. Dibaca dari atas sampai bawah setelah membacanya 3 kali. Dia baca sampai ke fakultas yang tidak pernah dimauinya, kali saja dia ada disana.
Nafasnya terhenti, meleleh dipertengahan oksigen di parunya. Setetes air bening mengucur pelan di pipinya, nafas itu melahirkan air mata. Oksigen-oksigen seolah berkejaran membentuk ritme sesenggukan. Otaknya terus menerawang atas doa-doa yang dipanjatkan ibunya tiap malam. Imajinya menggantung terpaku pada harapan besar ayahnya. Tiga bulan lamanya ia bergelut dengan buku, tiga tahun lamanya ia memperluas kenalan dengan kakak angkatan yang kuliah di Universitas idamannya. Tiap malam dari bada maghrib sampai menjelang tengah malam,secangkir kopi menemani pergumulannya dengan buku. Deni takkan pernah menangis semelankolis ini jikalau Jogja tak membiusnya.
Januari 2011
Kutatap benar profil jejaring sosial itu. Nama yang tak asing, rupanya hidup telah mengubahnya. Foto profilnya memegang erat trofi pertama seumur hidupnya dan senyum seringai liciknya yang tak berubah seolah ingin katakan “Banggalah padaku dunia” !!!.
Aku menyeruput dalam-dalam coffemixku dan membayangkan momen bersamanya. Sekilas aku berpikir rupanya Tuhan lebih tahu jalan hidup kita.
Deni temanku dengan bangga memegang trofi debat di Universitas negeri di luar jawa. Setelah Jogja menolaknya dia dengan sikap elegan memalingkan muka. Berteriak dia kepada sambil menunjukan peta Indonesia, rupanya ia menunjuk bagian paling bawah di pulau Sumatera. Rupanya ia muak dengan impian Jogjanya, ia ingin sesuatu yang menantang dan di pulau itulah dia berlabuh.
Deni adalah seorang petualang sejati, dirinya adalah orang paling keras yang pernah aku kenal. Saat penolakan ujian masuk itu, dia membisikan kata paling mujarab “ Suatu saat aku lah yang akan menolak Jogja !!!”.
Hidup dengan bermimpi adalah sebuah keberanian. Saat kita bermimpi dan sudah mengerahkan seluruh kemampuan kita, maka pada hakikatnya kitalah pemenang sejati. Perjalanan sang waktu dan takdir memang merupakan hak sepenuhnya Sang Kuasa. Saat kaudapati dirimu gagal, saat itulah Tuhan telah menciptakan ribuan pintu-pintu kesuksesanmu yang baru. Jangan terlampau lama larut di pintu tertutup itu….ayo bangkit dan buka pintu rahmah Illahi takdirmu sebenarnya : kesuksesan !!!
mantap Ngga.. Setidaknya ku masih percaya mimpi itu masih gratis..
BalasHapusGilang
kata-katanya mantab banget,...
BalasHapussaya juga menolak altar suci itu, dan akhirnya saya berpetualang di kota ini, kota Satria
>> gilang : iya lah.. inget kata-katanya Arai di sang Pemimpi..
BalasHapusBermimpilah..maka Tuhan akan memeluk mimpimu
angga
wijang : sedikit banyak membaca update blogmu..semngat jang,,
BalasHapusPria baik hanya untuk wanita baik,hehehe..
klo mau curhat ato minta trik sms aja..insya alloh ak bantu..ganteng2 gni mantanku bnyak loh,hehehe..
anggaisme
kamu pinter nulis juga....bahasanya indah.ayok sharing
BalasHapus