Archive for Maret 2011
Wanita pemilik pagi
Pagi merekah di ufuk timur, mulai terbuka sejak mentari dengan digdaya muncul ke permukaan samar-samar. Warnanya tersamar dengan malam yang mulai memudar, berpendar membentuk warnanya oranye beradu dengan hitam pekat. Dari penjuru arah angin, sayup-sayup terdengar adzan. Dari menara-menara masjid yang terpantul cahaya gemerlap mentari itu suara adzan menusuk pagi. Muadzin menarik panjang suaranya, menukik pada bagian akhirnya. Saat idzhar terbaca jelas dan ikhfa tersamar nadanya, membentuk alunan nada milik Illahi Robi.
Wanita itu masih duduk di sajadahnya, setelah pada sepertiga malam mulai menegakan badannya dan melawan dingin untuk sekedar memenuhi sunahNya.Sebelum adzan mulai samar-samar terdengar ia panjatkan lantunan ayat Al quran. Bernada sedemikian indahnya, naik turun dengan sangat cantik. Dia bahkan tak pernah bisa tuk sekedar bernyanyi. Tapi lantunan tiap sepertiga malam itu adalah bentuk rintihan dan curhatan atas hidup yang semakin tak pasti. Ditumpahkan semua gelora yang terekam di dalam dada, terangkum dalam naik turun yang membahana. Hingga dia membaca akhir dari surah Al quran desahannya terhenti dan rasa ngilunya hilang. Terganti dengan rasa dingin ketentraman yang mulai menggerayangi dari sudut kalbu dan meluas sampai keseluruh tubuhnya.
Sedetik kemudian tangan yang mulai renta menggoyang-goyangkan tubuhku. Berharap aku tersadar dari tidurku. Kadang dia terlampau bersemangat untuk membangunkanku, sampai ada sebuah teriakan. Entahlah…. Teriakan yang tulus dari tangan-tangan Tuhan yang suci sepertinya.
Walau terlihat lemah saat membaca lantunan ayat suci namun dirinya harus menjadi penjaga akhlak kami. Segala cara dan upaya dikerahkannya untuk menajalankan misi mulianya. Membangun keluarga Islam yang kuat sedari Subuh. Perubahan sifat yang begitu drastis itu menunjukan komitmennya yang tiada henti kepada kami. Dia takkan pernah berharap kami melihat momentum sebelum membangunkan kami.Buatnya hal yang perlu dikenal darinya cukup satu kalimat lugas : tegas dan istiqomah !
Memang untukku sebenarnya Subuh itu sangat indah. Berlarian dengan ikomah, berharap tak sampai tertinggal rakaat. Atau saat alunan adzan khas subuh yang berarti solat itu lebih baik dari tidur. Entahlah aku merasakan kantuk yang teramat hebat pada bagian refrain tersebut. Seolah-olah tiap kelopak mataku dijejali dengan milyaran Iblis yang meniupkan angin-angin nikmat pembuat kantuk. Atau memelukku erat hingga sekujur tubuh didera kedinginan yang kelu dari ujung kaki ke ujung kepala dan bagian otakku mengomandoi untuk segera menarik selimut. Subuh teramat berat untukku.
Tapi itu sebelum cipratan air itu menerjang mukaku. Aih..tips terakhir membangunkan orang yang bergundik dengan setan. Wanita itu mulai kehabisan kesabaran rupanya.
Tahukah kau Kawan, berlarian untuk mengejar subuh adalah hal yang membuat stimulan paling berharga untukmu. Mengejar alunan adzan sebelum berhenti di akhir, berlarian bersanding rekahan mentari yang tersudut di timur. Saat kakimu mulai meregang dan jantungmu berdetak memompa ke sekujur tubuh, seolah berdzikir dan tiada henti melantunkan syukur atas nikmat pagi dan Subuh.
Duhai kau wanita pemilik pagi, bangganya aku menyebutmu Ibu.
Akulah pria yang menolak altar suci keilmuan Jogja !!!
Mendung masih menggantung di ufuk.Memberi sebuah kemuraman yang gelap dan mengiris sendi-sendi keceriaan. Titik demi titik air meluncur lepas dari genggaman awan, tanpa ragu menerjang bumi yang tersungkur penuh debu. Laju kereta yang mengaum sedari setengah jam yang lalu berbaur dengan rintik hujan membentuk simfoni antara orkestra alam dan kedigdayaan manusia. Hari itu,sekitar bulan April tahun 2008 aku dan temanku(sebut saja Deni) berguncang menikmati kereotan kereta api ekonomi ke Jogja. Wangi anyir dan pesing adalah hal yang sangat lazim, membaur sekenanya ke lubang-lubang hidung yang telah disetting agar tak peka. Wangi itu semakin menjadi jadi saat berbaur dengan bawaan sayur-sayuran dan bawaan kelas ekonomi penumpangnya. Seakan telah menjadi skenario keanyiran kelas ekonomi, naiklah penghibur kelas ekonomi yang khas, buas, dan yaaaa..cukup menghibur. Mereka adalah orkes dangdut lintas gender, berbadan tegap laksana kuli panggul pasar pagi, membawa snar bass berhias kayu kotak bernada beeemm,,beeeemmm seenaknya. Dan yang fenomenal adalah yel mereka..Itikiwir…sebuah brand tersendiri atas ribuan kali pencarian jati diri dalam karier bermusik mereka. Suasana itu membaur,sekenanya, hujan, amis, dan orkes transjender,..sangat ekonomi,,sangat merakyat dan Indonesia sekali.
Aku dan Deni adalah teman semenjak SMP dan berpisah saat SMA. Kami berdua mempunyai obsesi yang sama – Jogja. Entah mengapa nama kota itu seperti magnet, memberi keterikatan yang amat dalam. Seolah olah setiap mimpi-mimpi besar berpusat di kota itu. Kami mendamba mendapat universitas negeri disana, keluar dari pergaulan Purwokerto yang membosankan , hidup ngekost sambil menikmati Jogja dan lulus dengan predikat cum laude. Skenario sempurna. Sejak sebulan kami berselancar mencari informasi, aku ingin melanjutkan ke ekonomi dan Deni lebih tertarik ke jurusan Kehutanan. Landmark universitas itu telah menghantui mimpi kami setiap malam, bangunannya yang gigantis pertanda prestise tersendiri, altar almamaternya yang gemerlap menjanjikan masa depan cerah gumintang.
Bunyi peron dan cincitan rem kereta menghentak menghentikan perjalanan ini. Ya,Jogja tempat semua altar ilmu bertumpu menjadi satu. Dan kami menginjakan hentakan pertama di kota ini.
Mei 2008
Purwokerto masih tergenang hujan sedari malam. Deni berdiri tegak memandangi jam dinding yang belum bergerak sedetik yang lalu. Menanti jam setengah 7 yang masih 5 menit lagi. Di jam itu , loper koran melempar koran ke rumahnya. Tak pernah dia begitu perhatian atas tiap detik menanti jam 7 sebelumnya. Di lembar-lembar koran tersebut akan ada nama-nama agung siswa siswi terbaik nusantara yang masuk Universitas prestisius itu. Kerja kerasnya selama sebulan berjibaku menghadapi ujian masuk setelah 3 bulan sebelumnya lagi memperdalam dan memprediksi soal-soal di bimbel ternama.
Setengah Tujuh
Mata Deni terbelalak, memeriksa satu per satu baris nama yang terpampang di koran. Dibaca dengan saksama dan memincing mata sampai korneanya berkontraksi sedetail mungkin. Dibaca dari atas sampai bawah setelah membacanya 3 kali. Dia baca sampai ke fakultas yang tidak pernah dimauinya, kali saja dia ada disana.
Nafasnya terhenti, meleleh dipertengahan oksigen di parunya. Setetes air bening mengucur pelan di pipinya, nafas itu melahirkan air mata. Oksigen-oksigen seolah berkejaran membentuk ritme sesenggukan. Otaknya terus menerawang atas doa-doa yang dipanjatkan ibunya tiap malam. Imajinya menggantung terpaku pada harapan besar ayahnya. Tiga bulan lamanya ia bergelut dengan buku, tiga tahun lamanya ia memperluas kenalan dengan kakak angkatan yang kuliah di Universitas idamannya. Tiap malam dari bada maghrib sampai menjelang tengah malam,secangkir kopi menemani pergumulannya dengan buku. Deni takkan pernah menangis semelankolis ini jikalau Jogja tak membiusnya.
Januari 2011
Kutatap benar profil jejaring sosial itu. Nama yang tak asing, rupanya hidup telah mengubahnya. Foto profilnya memegang erat trofi pertama seumur hidupnya dan senyum seringai liciknya yang tak berubah seolah ingin katakan “Banggalah padaku dunia” !!!.
Aku menyeruput dalam-dalam coffemixku dan membayangkan momen bersamanya. Sekilas aku berpikir rupanya Tuhan lebih tahu jalan hidup kita.
Deni temanku dengan bangga memegang trofi debat di Universitas negeri di luar jawa. Setelah Jogja menolaknya dia dengan sikap elegan memalingkan muka. Berteriak dia kepada sambil menunjukan peta Indonesia, rupanya ia menunjuk bagian paling bawah di pulau Sumatera. Rupanya ia muak dengan impian Jogjanya, ia ingin sesuatu yang menantang dan di pulau itulah dia berlabuh.
Deni adalah seorang petualang sejati, dirinya adalah orang paling keras yang pernah aku kenal. Saat penolakan ujian masuk itu, dia membisikan kata paling mujarab “ Suatu saat aku lah yang akan menolak Jogja !!!”.
Hidup dengan bermimpi adalah sebuah keberanian. Saat kita bermimpi dan sudah mengerahkan seluruh kemampuan kita, maka pada hakikatnya kitalah pemenang sejati. Perjalanan sang waktu dan takdir memang merupakan hak sepenuhnya Sang Kuasa. Saat kaudapati dirimu gagal, saat itulah Tuhan telah menciptakan ribuan pintu-pintu kesuksesanmu yang baru. Jangan terlampau lama larut di pintu tertutup itu….ayo bangkit dan buka pintu rahmah Illahi takdirmu sebenarnya : kesuksesan !!!
Aku dan Deni adalah teman semenjak SMP dan berpisah saat SMA. Kami berdua mempunyai obsesi yang sama – Jogja. Entah mengapa nama kota itu seperti magnet, memberi keterikatan yang amat dalam. Seolah olah setiap mimpi-mimpi besar berpusat di kota itu. Kami mendamba mendapat universitas negeri disana, keluar dari pergaulan Purwokerto yang membosankan , hidup ngekost sambil menikmati Jogja dan lulus dengan predikat cum laude. Skenario sempurna. Sejak sebulan kami berselancar mencari informasi, aku ingin melanjutkan ke ekonomi dan Deni lebih tertarik ke jurusan Kehutanan. Landmark universitas itu telah menghantui mimpi kami setiap malam, bangunannya yang gigantis pertanda prestise tersendiri, altar almamaternya yang gemerlap menjanjikan masa depan cerah gumintang.
Bunyi peron dan cincitan rem kereta menghentak menghentikan perjalanan ini. Ya,Jogja tempat semua altar ilmu bertumpu menjadi satu. Dan kami menginjakan hentakan pertama di kota ini.
Mei 2008
Purwokerto masih tergenang hujan sedari malam. Deni berdiri tegak memandangi jam dinding yang belum bergerak sedetik yang lalu. Menanti jam setengah 7 yang masih 5 menit lagi. Di jam itu , loper koran melempar koran ke rumahnya. Tak pernah dia begitu perhatian atas tiap detik menanti jam 7 sebelumnya. Di lembar-lembar koran tersebut akan ada nama-nama agung siswa siswi terbaik nusantara yang masuk Universitas prestisius itu. Kerja kerasnya selama sebulan berjibaku menghadapi ujian masuk setelah 3 bulan sebelumnya lagi memperdalam dan memprediksi soal-soal di bimbel ternama.
Setengah Tujuh
Mata Deni terbelalak, memeriksa satu per satu baris nama yang terpampang di koran. Dibaca dengan saksama dan memincing mata sampai korneanya berkontraksi sedetail mungkin. Dibaca dari atas sampai bawah setelah membacanya 3 kali. Dia baca sampai ke fakultas yang tidak pernah dimauinya, kali saja dia ada disana.
Nafasnya terhenti, meleleh dipertengahan oksigen di parunya. Setetes air bening mengucur pelan di pipinya, nafas itu melahirkan air mata. Oksigen-oksigen seolah berkejaran membentuk ritme sesenggukan. Otaknya terus menerawang atas doa-doa yang dipanjatkan ibunya tiap malam. Imajinya menggantung terpaku pada harapan besar ayahnya. Tiga bulan lamanya ia bergelut dengan buku, tiga tahun lamanya ia memperluas kenalan dengan kakak angkatan yang kuliah di Universitas idamannya. Tiap malam dari bada maghrib sampai menjelang tengah malam,secangkir kopi menemani pergumulannya dengan buku. Deni takkan pernah menangis semelankolis ini jikalau Jogja tak membiusnya.
Januari 2011
Kutatap benar profil jejaring sosial itu. Nama yang tak asing, rupanya hidup telah mengubahnya. Foto profilnya memegang erat trofi pertama seumur hidupnya dan senyum seringai liciknya yang tak berubah seolah ingin katakan “Banggalah padaku dunia” !!!.
Aku menyeruput dalam-dalam coffemixku dan membayangkan momen bersamanya. Sekilas aku berpikir rupanya Tuhan lebih tahu jalan hidup kita.
Deni temanku dengan bangga memegang trofi debat di Universitas negeri di luar jawa. Setelah Jogja menolaknya dia dengan sikap elegan memalingkan muka. Berteriak dia kepada sambil menunjukan peta Indonesia, rupanya ia menunjuk bagian paling bawah di pulau Sumatera. Rupanya ia muak dengan impian Jogjanya, ia ingin sesuatu yang menantang dan di pulau itulah dia berlabuh.
Deni adalah seorang petualang sejati, dirinya adalah orang paling keras yang pernah aku kenal. Saat penolakan ujian masuk itu, dia membisikan kata paling mujarab “ Suatu saat aku lah yang akan menolak Jogja !!!”.
Hidup dengan bermimpi adalah sebuah keberanian. Saat kita bermimpi dan sudah mengerahkan seluruh kemampuan kita, maka pada hakikatnya kitalah pemenang sejati. Perjalanan sang waktu dan takdir memang merupakan hak sepenuhnya Sang Kuasa. Saat kaudapati dirimu gagal, saat itulah Tuhan telah menciptakan ribuan pintu-pintu kesuksesanmu yang baru. Jangan terlampau lama larut di pintu tertutup itu….ayo bangkit dan buka pintu rahmah Illahi takdirmu sebenarnya : kesuksesan !!!
Hari itu,di penghujung Desember
Hujan yang sedari menggenangi kota ini dalam keputusasaan.Menyirami tiap sudutnya dari air yang dijatuhkan dari gumpalan awan kelabu.Menghilangkan semua aktivitas yang seharusnya dilaksanakan.Ini adalah momen paling sendu sepanjang tahun. Penghujung tahun adalah waktu paling sendu untuk para aktivis,dan pemangku kebijaksanaan.Hari dimana tiap detik yang dilalai sebelumnya dipertanggungjawabkan sepenuhnya.Desember pada saat hujan turun deras dan mengusir debu tanggung jawab.
Seperti hari biasanya,aku sisipkan mantel merahku yang berhias masuk ke dalam tasku.Takkan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti di bulan Desember.Tak seperti biasanya kampusku ramai oleh baliho dan umbul-umbul bertuliskan kalimat yang menjanjikan surgawi,rupanya tidak untuk semua orang bahwa akhir tahun adalah keputusasaan.Kalimat yang sangat inspiratif seperti..ya bisa!!..lanjutkan..!!klisekah??entahlah semoga saja kalimat optimis itu tak hilang karena hujan pada sore harinya.
Fakultas Ekonomi dengan landmark yang sangat familiar-orang menunggang kuda-di lapangan depannya tegak menantang mendung.Padahal sebenarnya para penjual tahu penyet atau jagung bakar pun tahu bahwa sang Jendral sakit-sakitan dan sangat tidak mungkin untuk duduk di kudanya.Itulah propaganda kampus,sebuah hiperbol.Untuk merujuk para lulusan kampus ini adalah kualitas jendral penunggang kuda sembrani.Kampus yang sesak dengan hedonism dan berjuta hal-hal material yang harus ditelan bulat-bulat di kepala para manusia bernama mahasiswa Fakultas Ekonomi .Itulah aku yang secara administrative dipanggil C1C008059.Satu diantara ribuan kepala di kampus pak penunggang kuda.
Kulintas bangunan besar,sebuah perpustakaan dan baliho 2 bulan lalu,samar-samar kubaca Simposium Nasional Akuntansi XIII Purwokerto.Ya,13 Oktober.Saat itulah semuanya berawal.Hari itu adalah hari dimana mimpi menjadi keniscayaan,bagaimana mungkin kampus ini mampu menghadirkan event sebesar itu.Terpikir pun tidak.Namun tak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Simposium Nasional Akuntansi adalah event yang digelar oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Kompartement pendidikan,yang berupaya untuk menggalakan dan memberikan info hangat seputar dunia akuntansi ke para calon akuntan-mereka yang duduk di perguruan tinggi.Kampus ini jelas bukan sebuah tujuan yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya.SNA selalu digelar di kampus yang bila orang mendengarnya akan mendesah nafas dan membayangkan betapa hebatnya.SNA selalu digelar di kutub-kutub pendidikan yang selalu melahirkan para pemikir dan cendikiawan yang malang melintang di Nusantara.Sementara disini,kami bahkan kadang masih gamang atas pencatatan barang dagangan apakah menggunakan FIFO ataupun LIFO.SNA merupakan ajang pamer infrastruktur dan pencapain para civitas akademika di dalamnya.Tapi lihatlah kita,berkubang dalam keringat dan panas tanpa pendingin ruangan.Tapi semua itu hanya factor yang tak sepenuhnya diperhitungkan.
Pada saat SNA XII Palembang,para dosen dengan segala upaya memberikan presentasi untuk membujuk tim pelaksana agar dapat melaksanakan SNA di Purwokerto.Waktu itu public lebih tertarik pada Universitas………….yang menjanjikan Bunaken sebagai wisata refreshing di dalam paket SNAnya.Tapi mereka,para dosen dengan tegas dan kepala tegak mengikrarkan,,,ya kami punya Nusakambangan,tempat para penjahat kelas kakap dan koruptor menghabiskan sisa hidupnya.Itulah mereka kawan dengan percaya diri mampu keluar dari hal yang biasa dan membosankan.Mereka yang berpikir out of the box lah yang juara.Tapi bukan melulu wisata yang dibacarakan,Purwokerto adalah kota yang sedang berkembang ke arah edukatif,dan banyak menarik siswa dari luar daerah seperti Jawa Barat dan Jakarta.Inilah calon kutub perubahan di daerah Banyumas.
Seminggu setelah palu diketuk dan diputuskan SNA akan digelar di Purwokerto,dibentuklah panitia gabungan antara dosen dan mahasiswa.Banyak masalah yang harus diselesaikan.Dana,akomodasi dan banyak hal yang harus segera dipecahkan.Secara geografis,Purwokerto adalah daerah yang tanggung tanpa bandara.Dan tebaklah apa yang harus dilakukan mereka-para orang penting- menghabiskan 3 atau 5 jam di alat transportasi yang tak pernah mereka pakai selepas bandara??Maka digodoklah berbagai konsep dan upaya untuk meredam kecapaian para calon peserta SNA selama perjalanan.Upaya itu disebut keramahan.Para Lision Officer(LO) harus berupaya meregangkan kedua bibir mereka selebar dan seramah mungkin.Konsep ini mungkin kuno namun itu bekerja dengan baik.Maka dapat ditarik kesimpulan,jika anda capek,letih,lesu maka tersenyumlah.
Proses terus berlangsung,konsep terus digodok dan permasalah ditekan hingga sama sekali tak ada.Maka hari itu pun dating,13 Oktober.Matahari menyingsing di horizon,membias oranye berhadapan langsung dengan dominan biru muda.Bandara Adi Sucipto dan smua bandara di Pulau Jawa dipenuhi makhluk penjemput berpakaian batik biru,Itulah mereka Akomodasi dan Transportasi.Sementara itu ratusan kilometer di kampus kita telah banyak kerumunan yang mencoba menegakan baliho sepanjang jalan dan kami, mencoba mempersiapkan setiap detail dari apa-apa yang akan dibutuhkan.Semuanya terlihat bersemngat,menggarap proceeding,merapikan tas-tas merchandise,menjinjing peraltan untuk pameran,merapikan make up bagi tim penerima tamu,koordinasi dengan satpam untuk jaminan keamanan,menghubungi Bawor yang sedari tadi belum muncul.Itulah hasrat yang ditunjukan dalam dinamisasi kampus ini,semuanya bergerak,kedepan,melangkah dengan pasti dan mempersiapkan yang terbaik.Sekecil apapun,apakah karena kamu hanya tukang jinjing,semuanya antusias menyambut event yang mungkin takkkan pernah datang kedua kalinya ke kampus ini.
Para peserta mulai datang dan menghambur keluar.Kami dari semua elemen divisi telah menyiapkan jurus andalan kami.Maka setiap mereka yang berbaju batik hijau akan menghambar segaris senyum di bawah hidung mereka.Tim Perkap membawa barang pun dengan senyum,mungkin sebenarnya senyum getir karena bawaannya memang berat.Para peserta pun menanyakan segala hal tentang kampus,gedung apalah,dibangun kapanlah,buat apalah dan kami senantiasa mengandalkan jurus andalan tadi senyum,bingung tentunya.Namun apa yang disebut keterbatasan itu dianggap oleh para pesohor dan pendekar akuntansi itulah yang dimaksud dengan kenikmatan perjalanan akademis.
Simposium Nasional…event sebesar itu,mungkin takkan pernah terulang lagi di kampus ini.
Seperti hari biasanya,aku sisipkan mantel merahku yang berhias masuk ke dalam tasku.Takkan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti di bulan Desember.Tak seperti biasanya kampusku ramai oleh baliho dan umbul-umbul bertuliskan kalimat yang menjanjikan surgawi,rupanya tidak untuk semua orang bahwa akhir tahun adalah keputusasaan.Kalimat yang sangat inspiratif seperti..ya bisa!!..lanjutkan..!!klisekah??entahlah semoga saja kalimat optimis itu tak hilang karena hujan pada sore harinya.
Fakultas Ekonomi dengan landmark yang sangat familiar-orang menunggang kuda-di lapangan depannya tegak menantang mendung.Padahal sebenarnya para penjual tahu penyet atau jagung bakar pun tahu bahwa sang Jendral sakit-sakitan dan sangat tidak mungkin untuk duduk di kudanya.Itulah propaganda kampus,sebuah hiperbol.Untuk merujuk para lulusan kampus ini adalah kualitas jendral penunggang kuda sembrani.Kampus yang sesak dengan hedonism dan berjuta hal-hal material yang harus ditelan bulat-bulat di kepala para manusia bernama mahasiswa Fakultas Ekonomi .Itulah aku yang secara administrative dipanggil C1C008059.Satu diantara ribuan kepala di kampus pak penunggang kuda.
Kulintas bangunan besar,sebuah perpustakaan dan baliho 2 bulan lalu,samar-samar kubaca Simposium Nasional Akuntansi XIII Purwokerto.Ya,13 Oktober.Saat itulah semuanya berawal.Hari itu adalah hari dimana mimpi menjadi keniscayaan,bagaimana mungkin kampus ini mampu menghadirkan event sebesar itu.Terpikir pun tidak.Namun tak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Simposium Nasional Akuntansi adalah event yang digelar oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Kompartement pendidikan,yang berupaya untuk menggalakan dan memberikan info hangat seputar dunia akuntansi ke para calon akuntan-mereka yang duduk di perguruan tinggi.Kampus ini jelas bukan sebuah tujuan yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya.SNA selalu digelar di kampus yang bila orang mendengarnya akan mendesah nafas dan membayangkan betapa hebatnya.SNA selalu digelar di kutub-kutub pendidikan yang selalu melahirkan para pemikir dan cendikiawan yang malang melintang di Nusantara.Sementara disini,kami bahkan kadang masih gamang atas pencatatan barang dagangan apakah menggunakan FIFO ataupun LIFO.SNA merupakan ajang pamer infrastruktur dan pencapain para civitas akademika di dalamnya.Tapi lihatlah kita,berkubang dalam keringat dan panas tanpa pendingin ruangan.Tapi semua itu hanya factor yang tak sepenuhnya diperhitungkan.
Pada saat SNA XII Palembang,para dosen dengan segala upaya memberikan presentasi untuk membujuk tim pelaksana agar dapat melaksanakan SNA di Purwokerto.Waktu itu public lebih tertarik pada Universitas………….yang menjanjikan Bunaken sebagai wisata refreshing di dalam paket SNAnya.Tapi mereka,para dosen dengan tegas dan kepala tegak mengikrarkan,,,ya kami punya Nusakambangan,tempat para penjahat kelas kakap dan koruptor menghabiskan sisa hidupnya.Itulah mereka kawan dengan percaya diri mampu keluar dari hal yang biasa dan membosankan.Mereka yang berpikir out of the box lah yang juara.Tapi bukan melulu wisata yang dibacarakan,Purwokerto adalah kota yang sedang berkembang ke arah edukatif,dan banyak menarik siswa dari luar daerah seperti Jawa Barat dan Jakarta.Inilah calon kutub perubahan di daerah Banyumas.
Seminggu setelah palu diketuk dan diputuskan SNA akan digelar di Purwokerto,dibentuklah panitia gabungan antara dosen dan mahasiswa.Banyak masalah yang harus diselesaikan.Dana,akomodasi dan banyak hal yang harus segera dipecahkan.Secara geografis,Purwokerto adalah daerah yang tanggung tanpa bandara.Dan tebaklah apa yang harus dilakukan mereka-para orang penting- menghabiskan 3 atau 5 jam di alat transportasi yang tak pernah mereka pakai selepas bandara??Maka digodoklah berbagai konsep dan upaya untuk meredam kecapaian para calon peserta SNA selama perjalanan.Upaya itu disebut keramahan.Para Lision Officer(LO) harus berupaya meregangkan kedua bibir mereka selebar dan seramah mungkin.Konsep ini mungkin kuno namun itu bekerja dengan baik.Maka dapat ditarik kesimpulan,jika anda capek,letih,lesu maka tersenyumlah.
Proses terus berlangsung,konsep terus digodok dan permasalah ditekan hingga sama sekali tak ada.Maka hari itu pun dating,13 Oktober.Matahari menyingsing di horizon,membias oranye berhadapan langsung dengan dominan biru muda.Bandara Adi Sucipto dan smua bandara di Pulau Jawa dipenuhi makhluk penjemput berpakaian batik biru,Itulah mereka Akomodasi dan Transportasi.Sementara itu ratusan kilometer di kampus kita telah banyak kerumunan yang mencoba menegakan baliho sepanjang jalan dan kami, mencoba mempersiapkan setiap detail dari apa-apa yang akan dibutuhkan.Semuanya terlihat bersemngat,menggarap proceeding,merapikan tas-tas merchandise,menjinjing peraltan untuk pameran,merapikan make up bagi tim penerima tamu,koordinasi dengan satpam untuk jaminan keamanan,menghubungi Bawor yang sedari tadi belum muncul.Itulah hasrat yang ditunjukan dalam dinamisasi kampus ini,semuanya bergerak,kedepan,melangkah dengan pasti dan mempersiapkan yang terbaik.Sekecil apapun,apakah karena kamu hanya tukang jinjing,semuanya antusias menyambut event yang mungkin takkkan pernah datang kedua kalinya ke kampus ini.
Para peserta mulai datang dan menghambur keluar.Kami dari semua elemen divisi telah menyiapkan jurus andalan kami.Maka setiap mereka yang berbaju batik hijau akan menghambar segaris senyum di bawah hidung mereka.Tim Perkap membawa barang pun dengan senyum,mungkin sebenarnya senyum getir karena bawaannya memang berat.Para peserta pun menanyakan segala hal tentang kampus,gedung apalah,dibangun kapanlah,buat apalah dan kami senantiasa mengandalkan jurus andalan tadi senyum,bingung tentunya.Namun apa yang disebut keterbatasan itu dianggap oleh para pesohor dan pendekar akuntansi itulah yang dimaksud dengan kenikmatan perjalanan akademis.
Simposium Nasional…event sebesar itu,mungkin takkan pernah terulang lagi di kampus ini.
Tragedi Kehidupan
Mentari masih bersembunyi di peraduan.Horison pagi masih mengambang di selayang batas kehidupan.Satu per satu embun masih menempel lekat di dedaunan hijau merona.Tapi semua kehiningan terpecah hiruk pikuk di pasar.Para kuli kasar membopong muatan yang tiga kali lebih berat dari bobot mereka.Para cukong dengan perut buncit dan mata nanar seakan-akan mengintai dan mengkritisi tiap langkah kuli mereka.Ini paradigma pagi di 20 meter sebelah rumahku.Ada sebuah kesenjangan antara pagi dan keramaian pasar duniawi itu.Saat mentari masih terlelap,berlusin peluh membasahi seluruh tubuh kuli mereka.Aku sedang bergegas membeli lauk hari itu,melihat mereka bekerja..sungguh ironi besar di negera besar ini.Bagaimna mungkin negara yang lebih mirip dipanggil sebagai surga ini memberikan kehidupan yang kasar dan rimba kepada mereka.Negeri yang kedaulatannya diperebutkan banyak kepentingan bahkan tak bisa menjamin segelintir orang ini.Benar-benar sebuah ironi.
Di warung gudeg ini yang aku dengar hanya jutaan keluh kesah tentang dunia.Harga sembako yang melambung tinggi,pendidikan yang mahal dan stagnasi kualitas kehidupan.Itulah posisi kita kawan,diantara himpitan keluh kesah dan pesimisme.
Aku masih melamun sebelum tangan besar itu menepuk bahuku."Assalamualaikum mas Angga"serunya seraya menjabat tanganku.Eh..ak terkesiap dan mencoba mengingat-ingat nama teman-teman semasa sekolah dulu,aku tatap dalam-dalam postur dan mukanya.Muka itu sudah lebih tua dari umurnya dengan banyak lekukan didahinya,terlihat segaris kumis menghiasi rona mukanya.Dan dengan postur yang tinggi besar.Aku masih berpikir dan mencoba menemukan nama.Aku tatap lagi matanya.Aih..mata ini,mata yang dulu aku kenal dengan lekat,mata yang menggariskan optimisme tanpa padam,mata elang yang berputar-putar mencari jawaban saat pelajaran matematika,dan mata yang memincing memandang remeh waktu aku cuma bisa rangking 3.Sedetik kemudian aku jawab "Waalaikum salam,Mas Gilar".
Gilar temanku semasa SD dulu,masih lekat ingatanku sebelum dia memutuskan untuk hijrah ke luar pulau.Rupanya dia kembali setelah tanah transmigrasi milik ayahnya kehilangan otoritas sesaat rezim Soeharto turun.Dia banyak menceritakan tentang masa-masa yang dilaluinya.Ada yang berbeda dengan postur temanku ini.Sekarang dia tinggi besar dan amat berotot.Sebelum aku menanyakan sesuatu,dia menyambar pertanyaan terlebih dahulu "Eii..bukannya golonganmu itu yang disebut agen perubahan kawan?"."Iya"jawabku singkat."Lalu kenapa aku dan kaumku masih berkubang di posisi ini kawan??ya pasti kau tahu aku lah..orang yang tak terkalahkan bahkan olehmu"kelakar dia sambil memincingkan mata yang aku kenal itu.Aku tak banyak berbicara,dia terus membombardir dengan semua obrolannya.
"Kawan??Tahukah kau apa tragedi terbesar dalam hidup manusia??tanya dia lagi.
"Apa itu ??"
"Saat mereka berjalan keluar dari lingkaran pendidikan dan mengandalkan kemampuannya,berharap bisa mengalahkan dunia"
Aku terkesiap dan mengetahui bahwa temanku itu adalah korban putus sekolah.Gilar,potret obsesi saya sewaktu sekolah ini mencoba bangkit setelah tanah harapan yang diagung-agungkan bapaknya dirampas warga sekitar.Dia bekerja sebisa yang dia lakukan dari menjadi kuli kebun,sampai merantau ke Jakarta dan akhirnya kembali ke kota kecil ini.Tiap pagi dia mencoba mengumpulkan nafas dan otot untuk menjujung beras di punggungnya.Tiap pagi ia titipkan tolong pada tukang sapu untuk ikut berbagi memungut beras yang jatuh di perjalanan junjungannya.Di tiap perkataan yang dia katakan,terselip rasa bersalah yang menggunung,rasa malu yang berton-ton mencertikan pahit getir kehidupannya kepada orang selalu dikalahkannya dulu.Gilar keluar dari lingkaran pendidikan dan berjanji menghidupi ketiga adiknya dan ibunya seorang.Mencoba menantang congkaknya dunia,terkepal tangannya meninju batu karang,berharap pecah berkeping-keping.
Gilar-obsesi ideal waktu aku anak SD-pintar,cerdas,sanjungan tiap guru dan jujugan lomba cerdas cermat.Aku tak bisa bayangkan bagaimana hari itu berjalan-saat Gilar putuskan untuk keluar dari zona kebanggannya.
"Tahukah kau teman,saat hari itu tiba,aku berharap itu bisa aku rubah"
ucapan yang menggariskan betapa melankolisnya hari keputusan itu.Saat mereka memutuskan tidak pada pendidikan,maka ibu pertiwi menangis sesenggukan.Pelupuk matanya basah kehilangan anak kebanggan negeri.Kehilangan alat peubah nasib dan bangsa.Aku memang tidak menggariskan bahwa yang berpendidikan yang sukses,tapi banyak jutaan contoh yang menunjukan bahwa pendidikan adalah pintu gerbang perubahan,tempat dimana harapan bersandar tinggi.Detik itu aku bersyukur dan akan memeluk erat pendidikan ini.Dan akan aku perjuangkan sampai harapan itu tercapai dan runtutan doa ibuku terkabul.
Di warung gudeg ini yang aku dengar hanya jutaan keluh kesah tentang dunia.Harga sembako yang melambung tinggi,pendidikan yang mahal dan stagnasi kualitas kehidupan.Itulah posisi kita kawan,diantara himpitan keluh kesah dan pesimisme.
Aku masih melamun sebelum tangan besar itu menepuk bahuku."Assalamualaikum mas Angga"serunya seraya menjabat tanganku.Eh..ak terkesiap dan mencoba mengingat-ingat nama teman-teman semasa sekolah dulu,aku tatap dalam-dalam postur dan mukanya.Muka itu sudah lebih tua dari umurnya dengan banyak lekukan didahinya,terlihat segaris kumis menghiasi rona mukanya.Dan dengan postur yang tinggi besar.Aku masih berpikir dan mencoba menemukan nama.Aku tatap lagi matanya.Aih..mata ini,mata yang dulu aku kenal dengan lekat,mata yang menggariskan optimisme tanpa padam,mata elang yang berputar-putar mencari jawaban saat pelajaran matematika,dan mata yang memincing memandang remeh waktu aku cuma bisa rangking 3.Sedetik kemudian aku jawab "Waalaikum salam,Mas Gilar".
Gilar temanku semasa SD dulu,masih lekat ingatanku sebelum dia memutuskan untuk hijrah ke luar pulau.Rupanya dia kembali setelah tanah transmigrasi milik ayahnya kehilangan otoritas sesaat rezim Soeharto turun.Dia banyak menceritakan tentang masa-masa yang dilaluinya.Ada yang berbeda dengan postur temanku ini.Sekarang dia tinggi besar dan amat berotot.Sebelum aku menanyakan sesuatu,dia menyambar pertanyaan terlebih dahulu "Eii..bukannya golonganmu itu yang disebut agen perubahan kawan?"."Iya"jawabku singkat."Lalu kenapa aku dan kaumku masih berkubang di posisi ini kawan??ya pasti kau tahu aku lah..orang yang tak terkalahkan bahkan olehmu"kelakar dia sambil memincingkan mata yang aku kenal itu.Aku tak banyak berbicara,dia terus membombardir dengan semua obrolannya.
"Kawan??Tahukah kau apa tragedi terbesar dalam hidup manusia??tanya dia lagi.
"Apa itu ??"
"Saat mereka berjalan keluar dari lingkaran pendidikan dan mengandalkan kemampuannya,berharap bisa mengalahkan dunia"
Aku terkesiap dan mengetahui bahwa temanku itu adalah korban putus sekolah.Gilar,potret obsesi saya sewaktu sekolah ini mencoba bangkit setelah tanah harapan yang diagung-agungkan bapaknya dirampas warga sekitar.Dia bekerja sebisa yang dia lakukan dari menjadi kuli kebun,sampai merantau ke Jakarta dan akhirnya kembali ke kota kecil ini.Tiap pagi dia mencoba mengumpulkan nafas dan otot untuk menjujung beras di punggungnya.Tiap pagi ia titipkan tolong pada tukang sapu untuk ikut berbagi memungut beras yang jatuh di perjalanan junjungannya.Di tiap perkataan yang dia katakan,terselip rasa bersalah yang menggunung,rasa malu yang berton-ton mencertikan pahit getir kehidupannya kepada orang selalu dikalahkannya dulu.Gilar keluar dari lingkaran pendidikan dan berjanji menghidupi ketiga adiknya dan ibunya seorang.Mencoba menantang congkaknya dunia,terkepal tangannya meninju batu karang,berharap pecah berkeping-keping.
Gilar-obsesi ideal waktu aku anak SD-pintar,cerdas,sanjungan tiap guru dan jujugan lomba cerdas cermat.Aku tak bisa bayangkan bagaimana hari itu berjalan-saat Gilar putuskan untuk keluar dari zona kebanggannya.
"Tahukah kau teman,saat hari itu tiba,aku berharap itu bisa aku rubah"
ucapan yang menggariskan betapa melankolisnya hari keputusan itu.Saat mereka memutuskan tidak pada pendidikan,maka ibu pertiwi menangis sesenggukan.Pelupuk matanya basah kehilangan anak kebanggan negeri.Kehilangan alat peubah nasib dan bangsa.Aku memang tidak menggariskan bahwa yang berpendidikan yang sukses,tapi banyak jutaan contoh yang menunjukan bahwa pendidikan adalah pintu gerbang perubahan,tempat dimana harapan bersandar tinggi.Detik itu aku bersyukur dan akan memeluk erat pendidikan ini.Dan akan aku perjuangkan sampai harapan itu tercapai dan runtutan doa ibuku terkabul.