Archive for Januari 2013
In the name of LOVE
Aku selalu terkagum-kagum dengan orang dibelakang layar. Ada
semacam keindahan yang dipadu padankan dengan kecerdasan didalamnya. Aku pun
terlahir dari rahim seorang kawulo wingking, Ibuku, darinyalah aku belajar
tentang manajemen pertama kali. Tentang sebuah daya dan upaya untuk bisa
membuat dapur tetap eksis dengan kepulan asapnya dan masih bisa bernafas di hari esok, bahkan
kalau pun ada uang sisa bisa dimasukan kedalam tabungan. Didalamnya juga
terdapat banyak seni-seni untuk melakukan alternatif manajerial tersebut, tak
jarang Ibuku sering memasak nasi yang tak habis malam hari menjadi nasi goreng,
atau kalaupun tak ada daging kadang dia memasak kikil atau hanya sekedar ati
rempela. Setidaknya setiap orang punya alas
an untuk menggilai orang belakang layar.
Bapakku kemudian mengenalkanku dengan pertunjukan wayang
kulit. Saat itu aku masih belum genap 6 tahun, dan aku merasakan ada energi yang
sangat kuat yang menggerakan ragaku untuk bangun di tengah malam dan memaksa mataku untuk tak terlelap. Maka malam hari saat
bulan purnama menjelang, aku dan Bapak sudah bersiap-siap diatas sepeda
Phoenixnya. Diikat kakiku agar tak hancur dirajam jari-jari roda sepeda.
Saat
bulan bertahta atas malam, kedua insan yang terendam dalam kegelapan, menyisir
perlahan menuju arah suara gamelan. Aku hanya terdiam diatas sadel, yang aku
ingat hanya purnama, suara gamelan beradu dengan gemerisik dan gegap gempita
jangkrik sepanjang jalan yang kulalui dan sesekali nafas putus-putus bapakku.
Wayang kulit seakan semakin mengukuhkan kecintaanku atas
orang dibalik layar. Didalam pagelaran yang megah dan bergelimang dalam cahaya
terang benderang akan terasa kosong dan hambar jika sang dalang tak mampu
membingkai cerita dengan baik. Memberikan nyawa dan meniupkan suara-suara yang sesuai dengan
karakter watak dan memberikan koordinasi dengan para nayaga untuk mapu
memberikan efek dramatis sesuai dengan adegan. Semuanya dikontrol oleh satu
orang. Yang menentukan jaya atau tidaknya sebuah pagelaran wayang. Dan semuanya
bercampur baur antara koordinasi dan keindahan seni. Sungguh hebat para orang
di balik layar.
Maka atas semua memori yang terhampar di masa lampauku. Aku
terdampar di sini. Diantara kepungan gunung Merapi dan Merbabu, diantara
ratusan ribu kepala bercap mahasiswa. Ya,,aku masih lekat dengan nama mahaiswa
dan segala pernak pernik didalamnya. Saat mereka yang mendahuluiku lulus atau
setelahku lulus sudah mulai berbincang asyik tentang gaji, bonus, karier,
kesempatan. Aku pun menghela nafas menghilangkan kegalauanku bersama secangkir
kopi dan segepok optimism. Aku berjuang atas apa yang aku cintai dan
perjuangkan sedari aku kecil. Sebuah profesi yang diantaranya bermuara antara
eksotisme keindahan seni dan kemampuan mencapai tujuan.